Carla
CARLA
Panas
matahari membakar kulitku meski aku telah menggunakan payung. Pohon-pohon telah
menggugurkan daunnya seperti siklus alam yang wajar di musim panas ini.
Debu-debu tipis bertebangan tertiup angin di sekitarku. Aku mengusap mataku
yang pedih terkena debu, lalu aku mengambil tisu dari tas mengajarku untuk
mengusap wajahku. Mataku lalu melihat sepatuku yang kusam karena tertutup debu.
Aku berhenti melangkah dan jongkok untuk mengusap sepatuku menggunakan tisu
bekas mengusap wajahku.’Ah, sekarang jadi lebih baik, gumamku terseyum sendiri.
Aku melanjutkan perjalananku menapaki gang menuju perumahan tempatku tinggal.
Perumahan sederhana di pinggiran kota Bandar Lampung. Perumahan yang cicilannya
baru kumulai satu tahun ini, sejak suamiku meninggalkan ku bersama wanita yang
kini dinikahinya. Aku tinggal bersama putriku, Sari. Putriku satu-satunya dari
mantan suamiku itu. Sari lah penghiburku. Penyemangatku. Seperti yang kita
ketahui bersama bahwa kehidupan di Bandar Lampung tidaklah mudah. Sulit sekali
mencari pekerjaan yang sesuai dengan kebutuhan hidup kita. belum lagi hidup di
tengah masyarakat yang masih menganggap bahwa seorang janda adalah kaum
pinggiran atau kaum marginal. Jadi, akan sulit untuk hidup bersama gunjingan
tak menyenangkan dari orang-orang di sekitar kita, belum lagi tatapan curiga
dari ibu-ibu muda yang khawatir deengan suami – suami mereka Beruntunglah aku
yang hidup di perumahan yang rata-rata penghuninya berpendidikan tinggi. Para
tetanggaku sangat baik dan mendukungku. Bahkan, aku mempunyai seorang tetangga
yang bagai saudari bagiku. Kami selalu berbagi cerita. Kami juga membentuk
kelompok arisan dengan aku sebagai ketuanya dan dia sebagai bendahara. Saat ini
anggota arisan kami mencapai lima puluh orang. Semua nya terdiri dari ibu-ibu
muda yang rata-rata bekerja di kantor. Hanya aku saja yang berprofesi guru. Di kelompok
arisan ini berbagi cerita tentang pekerjaaan kami dan kesulitan di tempat kami
bekerja serta bagaimana menyelesaikannya sampai masalah pengasuhan anak serta solusinya.
Diskusi yang kami bangun di arisan menjadikan aku mendapatkan berbagai
informasi yang kuperlukan untuk tulisanku. Oya, aku juga seorang penulis lepas.
Dengan kata lain, aku sangat beruntung dan bersyukur hidup di lingkungan yang
nyaman ini. Kesadaran atas keberagaman latar belakang budaya memang memperkaya
cara kita melihat hidup kita, membuat kita dapat mempertimbangkan setiap hal
dari perspektif yang luas. Aku jadi merasa sangat kaya.
Hari ini adalah pertemuan arisan kami yang ke
8. Oya, pertemuan arisan ini kami adakan sebulan sekali. Kami berkumpul
bergiliran dari rumah ke rumah. Hari ini adalah giliran di rumah Bu Narsi,
salah satu tetangga kami. Kulihat di rumah bu Narsi belum banyak yang datang.
Seperti biasa, aku ambil tempat duduk di sudur ruangan supaya bisa bersandar di
dinding dan ambil snack dengan mudah.
‘Jeng Ita, aku denger dari jeng Wati ada gossip
baru, lho,”kata seorang ibu muda yang berbaju kuning. Kalau tak salah namanya
Rita.
“Apa jeng Rita?” ibu muda yang bernama Rita itu
mendekatkan dirinya ke Rita. Aku tersenyum. Sambil minum teh aku mendengarkan
percakapan mereka. Ternyata, ibu-ibu sibuk ini masih punya waktu buat bergosip.
“Aku denger kalau Bu Carla itu janda, lho.” Dahiku
berkerut. Apa mereka membicarakan aku di depanku? Ah, aku lupa mereka belum
mengenalku. Aku tersenyum lagi, ternyata aku terkenal juga.
“Kulihat Bu Carla itu sering diantar om-om bermobil,
lho?” Aku tersedak. Hampir saja snack yang kumakan tertelan semuanya.’Mereka
ini ngomong apa, sih? Om-om bermobil yang mana? Orang-orang yang biasa
mengantarku itu kan sopir kantor tempatku mengajar kursus Bahasa Inggris kalau
kemalaman alam atau pulang dini hari jika ada projek tulisan yang deadline nya
mepet. Tapi, di dalam mobil banyak karyawati lain yang ikut karena rumah mereka
searah denganku. Saying, ibu-ibu ini tidak tahu.
‘Iya, jeng. Hampir tiap malam dia pergi dan pulang
pagi hari.”kata bu Rita. Saat ini wajahku sudah merah padam. Kubuka tasku untuk
ambil tisu dan mengusap wajahku. Sementara tanganku meraih gelas air putih.
Kuteguk sekaligus. Bu Rita menoleh ke arahku, “Jeng, tidak apa-apa? Aku
mengangguk. Tersenyum. Perlahan, aku bisa mengendalikan diriku. Aku beringsut
duduk lebih ke pojok ruangan agar bisa bersandar dan menenangkan diri. Meski
tak dapat mengikuti gossip, paling tidak aku bisa makan kuenya sampai kenyang.
“Eh, itu jeng Wati dan jeng Nanik,” kata Bu Rita
lagi dengan semangat,”Kita bisa dapat info detail dan terpercaya dari mereka
berdua.” Dadaku berdegup kencang mendengarnya. Nunik? Sahabatku. Tetangga
dekatku. Benarkah?
‘Jeng – jeng ..Apa kabar?”Kudengar sapaan riang Bu
Nunik. Nunik sahabatku,”Lagi ngomongin apa?”
“Ini lho jeng Nunik, kita sedang membicarakan
tentang Bu Carla yang rumahnya ada di depan rumahmu itu. Janda muda kan?”kata
Bu Rita. Nunik mengangguk.
“Iya, Bu Carla itu ditinggal pergi mantan suaminya.
Mantannya itu kan menikah lagi sekarang.”Nunik berkata sambil mengambil snack
di depannya. “Istrinya yang baru itu cantik sekali lho,”lanjut Nunik. Aku
meringis mendengar kata-kata Nunik. Kata-kata yang disampaikan memang benar,
tapi kenapa rasanya sakit saat seorang sahabat membicarakan kita di belakang
kita.
“Iya, saya juga melihat mantan suami Bu Carla
belanja di mall bersama istri barunya itu. Serasi sekali. Pantas bu Carla
ditinggalkan.” Ibu –ibu yang lain mengangguk, kecuali aku tentu saja. Perlahan
aku beringsut makin ke pinggir dekat pintu supaya bisa keluar tanpa harus
melewati mereka. “Ya. Bu Carla itu juga sering keluar malam diantar dan dijemput
laki-laki. “
“Yah..namanya janda muda, jeng. Kesepian. Jadi kita
saja yang musti jaga suami-suami kita.”timpal ibu Rita, “Jangan sampai nanti
suami kita direbutnya,” lalu,
pembicaraan mereka mengalir tentang janda ini dan janda itu yang katanya main dengan
suami ibu ini atau ibu itu. Aku hanya diam saja. Pikiranku jauh melayang.
Sungguh, dunia ini adalah sebuah panggung kehidupan dengan lakon yang berbeda
yang harus dijalami oleh setiap orang yang berbeda. Yang terbaik bagi kita adalah
menjalani peran dalam hidup kita dengan rasa syukur dan keikhlasan. Meskipun
begitu aku juga menyadari bahwa pilihan kata-kata yang diucapkan dan kemudian
dilakukan merupakan pilihan dengan konsekuensi yang diraih merupakan hal yang
tak bisa dielakkan, Pandangan stereotif terhadap seorang janda sepertiku,
misalnya, yang merupakan peran yang harus kulakoni dengan segala risiko dan
tanggung jawabnya. Ada secercah harapan bagiku bahwa cara melihat orang –orang
yang memiliki pendidikan yang baik akan berbeda, meski sekarang aku tidak
telalu banyak berharap. Aku hanya ingin menjalani hidup dengan baik dan
memandang orang lain sesuai apa yang dilakukan dan dikatakan saja. Berusaha
memahami bahwa cara pandang seseorang sesuai apa yang dapat mereka pahami.
Terlebih bagi orang-orang yang merasa bahwa dirinya lebih baik dari yang lain,
karena mereka tidak mau belajar untuk terus memperbaiki diri. Sedang ukuran
lebih baik sendiri tak lebih dari apa yang terlihat saja. Aku harap akupun
dapat mendidik diriku bahwa manusia itu terlahir berbeda dengan keunikan yang
khas dan berjiwa besar dengan perbedaan ini..
“Eh, sudah jam berapa nih. Sudah datang semua
belum?tanya bu Nunik sambil melihat kesekeliling ruangan dan pandangan kami
bertemu. Aku tersenyum. Wajah Nunik memerah.”Sudah dari tadi, Bu Carla?”
tanyanya serak. Aku mengangguk saja sambil tetap tersenyum. Nunik kelihatan
canggung. Ibu-ibu yang lain terlihat duduk dengan tidak nyaman.
“Baik, mari kita mulaii acara arisan kita hari
ini,”kataku tenang. Acara arisan kumulai karena hari ini aku bertugas sebagai
moderator wadah sharing di acara ini. Toh, tidak ada yang perlu dipersoalkan.
Kata-kata tidak akan berarti jika kita tidak menganggapnya penting. Aku harap
kita semua belajar untuk mengerti bahwa symbol, kedudukan atau status (janda)
bukanlah ‘aib” atau cacat dalam masyarakat. Kami(janda) pun perlu diperlakukan
dengan hormat selayaknya anggota masyarakat yang lain. Keadaan (janda) tidak
mengurangi kontribusi kami sebagai anggota masyarakat dalam membangun masyarkat
yang lebih baik.
“Maaf, bu Carla,”kata bu Rita.
“Iya bu.” Aku memandangnya. Wajah bu Rita kelihatan
merah. Beliau terlihat tidak nyaman.
“Tidak apa-apa,bu.”kataku,”Saya mengerti. Ibu tidak
perlu khawatir.” Aku mengangguk.
“Tidak, bu Carla. Saya, kami minta maaf atas apa yang
kami katakana tadi. Sungguh, kami tidak bermaksud..” Bu Rita menunduk.”Kami
telah mengatakan hal-hal yang buruk. Kami minta maaf. Kami harap bu Carla dapat
memafkan kami. Sungguh, kami tidak seharusnya..” Bu Rita memelukku. Beliau
menangis,” Padahal ibu saya pun seorang janda. Tapi mengapa saya sungguh tega
berkata seperti itu tentang ibu. Kami minta maaf ya, bu..” ibu-ibu yang lain
bergantian meminta maaf dan memelukku. Hingga tiba giliran bu Nunik. Nunik
memandangku lama dan memelukku erat sekali sambil menangis.
“Maaf..maafkan aku, ya Car” Aku hanya mengangguk
sambil menepuk-nepuk punggungnya. Sungguh, dalam beberapa menit ini aku telah
kehilangan dan menemukan kembali sahabat-sahabatku. Aku beruntung.Kulihat hujan
turun membasahi bumi, menghapus debu –debu yang bertebangan di jalan. Kulihat
sepatuku pun basah karena kuletakkan tepat dibawah talang air. Aku
menggeleng-geleng sambil tersenyum. Sepatu itu sepatu terbaikku untuk mengajar
ke sekolah.
Komentar
Posting Komentar