Cerpen: Awan, Sampaikan Salamku pada Dewi
Tak pernah ada yang mengerti bagaimana rasa rinduku bisa membiru. Memenuhi dada. Anto menghela napas. Memandang ke arah Dewi yang sedang menengadah ke arah langit. Ia tahu Dewi suka sekali memperthatikan awan yang berarak di sana. Entah apa yang ia pikirkan sekarang. Ia tak tahu sebuah bola meluncur dengan deras ke arahnya.
Buk!
"Dewi , awas!" jerit Anto . Terlambat. Bola tersebut sudah mengenai Dewi yang jatuh di atas tanah. Anto berlari ke arah Dewi dan mengguncang tubuhnya. Tak bergerak. Anto panik dan langsung mengangkat tubuh Dewi yang lemah.
"Kang Amin, tolong Dewi. Ia terkena bola tadi." Dokter sekolah yang lebih senang dipanggil Kang Amin itu mengangguk. Dengan teliti Kang Amin mengecek pupil mata, nadi, dan dahi Dewi .
"Dewi tidak apa - apa. Ia terjatuh bukan karena bola. Dewi kelelahan. Sepertinya ia kurang makan dan tidur." Kang Amin tersenyum. Anto melongo. Memperhatikan Dewi yang tergeletak di kasur klinik sekolah.
"Sepertinya ia memang tidur." Ragu. Anto menekan telapak kaki Dewi . Saat ia melihat kelopak mata Dewi bergerak - gerak, Dewi menoleh ke Kang Amin. "Kayaknya Dewi bangun, Kang."
Kang Amin tersenyum. "Ya, tolong ambil air segelas dan roti di meja itu. Dewi pasti lapar nanti." Anto mengangguk dan mengambil air dengan tangan kanannya dan roti dengan tangan kirinya.
"Mmm.. aku di mana?" tanya Dewi saat ia melihat Anto .
"Di klinik sekolah. Tadi kamu pingsan, Dewi ." Anto memandang Dewi khawatir. "Kamu tidak apa - apa kan?"
"Aku nggak pa- pa. Hanya kurang tidur ja. Tadi malam aku nggak tidur dan..." Suara perut Dewi menghentikan kata - katanya. Anto tersenyum. Ia memberikan air minum di tangannya.
"Minum dulu sedikit. Terus, makan roti ini. Kalau masih lapar ntar kutraktir bakso Malang depan sekolah."
"Ya. Terimakasih." Dewi minum air segelas yang diberikan oleh Anto dengan sekali teguk, hingga terbatuk - batuk.
"Hei, hati - hati. Pelan - pelan aja." Anto memberikan tisu pada Dewi , karena wajahnya basah terkena air yang nyembur dari batuknya sendiri.
Dewi tertawa sambil melap wajahnya." Ya. makasih."
"Ya. Ini rotinya. Kusobek sedikit - sedikit ya. Supaya bisa langsung kamu makan pelan - pelan. Khawatir tersedak dan batuk - batuk lagi."
"Kayak anak kecil aja. Tapi makasih, lho." Dewi tersenyum dan makan roti pemberian Anto . Dewi merasa senang Anto mau menemaninya d klinik sekolah. Ia punya pengalaman buruk di klinik. Seorang teman akrabnya, Hana pernah hampir meninggal karena ditinggal seharian di klinik sekolah. Dewi bergidik mengingatnya. Sampai saat ini Hana masih mengalami trauma ada di ruangan tertutup. Claustopobic. Untungnya, saat itu satpam sekolah ada yang kemalaman di sekolah dan mengecek klinik sekolah. Kalau tidak, Dewi tidak bisa membayangkannya.
"Hei. Masih ingat kejadian itu?" Anto memandangnya. Dewi mengangguk. "Tak usah diingat - ingat."
"Gimana keadaannya sekarang?" Anto menggelengkan kepalanya.
"Aku nggak tahu. Kudengar Tari sering chat dengannya di FB. Kata Tari, sekarang ia bertekad ingin jadi perawat untuk melawan traumanya."
"Hebat. Aku sendiri masih menyimpan rasa takutku dalam hati." Dewi menunduk.
"Kamu punya rasa takut?" Anto memandang Dewi tak percaya. "Kamu temanku yang paling berani yang kukenal."
"Benarkah?" Dewi mengangkat wajahnya. Anto mengangguk lagi. Meyakinkan Dewi .
"Kamu bisa tanya pada semua orang, kalau tak percaya."
Dewi menggeleng. "Tidak, aku percaya padamu Anto." Anto tersenyum.
"Kamu sudah baikan? Yuk ke kelas." Anto mengulurkan tangannya.
"Kamu duluan aja," kata Dewi. "Aku ingin tiduran sebentar lagi."
"Nggak takut nih?" Goda Anto. Dewi tertawa.
"Ya sudah, aku ke kelas duluan ya." Anto bangkit dari kursi dan melangkah ke pintu. Menoleh sebentar. Ia membuka pintu dan menutupnya pelan. Sambil berjalan ke kelas, Anto berharap Dewi baik - baik saja.
Sayangnya sepanjang pelajaran Anto tidak melihat Dewi. Kata Kang Amin, Dewi dijemput mamanya pulang. Tapi ia menitipkan surat untuk Anto. Surat yang kini ada di genggaman tangannya. Entah mengapa, Anto merasa pandangan matanya jadi tak jelas. Perlahan dibukanya surat Dewi. Matanya melihat guratan pena milik Dewi di atas kertas putih yang dipegangnya. Ia mengerjapkan matanya. Membaca surat Dewi.
Dear Anto,
Terima kasih telah menjadi temanku, sahabatku selama ini. Aku masih ingat pertama kali kita bertemu. Kamu membantuku menyelamatkan kucing yang hampir tenggelam di kali dekat sekolah. Sampai saat ini aku masih merawat kucing itu. Kucing itu sehat dan gemuk. Aku sayang sekali dengannya. Tapi, aku lebih sayang dengan orang yang telah membantuku menolongnya. Sampai saat nanti kita berjumpa lagi.
Sahabatmu,
Dewi
Anto memandangi surat itu tak percaya. Kenapa rasanya seperti surat perpisahan? Kenapa Dewi tak bicara langsung dengannya? Dan, kenapa ia sudah merindukannya meski belum lama ia berpisah? Kenapa? Anto memandang awan yang berarak di langit. Hatinya rindu.
Bandar Lampung, 21 September 2019
Buk!
"Dewi , awas!" jerit Anto . Terlambat. Bola tersebut sudah mengenai Dewi yang jatuh di atas tanah. Anto berlari ke arah Dewi dan mengguncang tubuhnya. Tak bergerak. Anto panik dan langsung mengangkat tubuh Dewi yang lemah.
"Kang Amin, tolong Dewi. Ia terkena bola tadi." Dokter sekolah yang lebih senang dipanggil Kang Amin itu mengangguk. Dengan teliti Kang Amin mengecek pupil mata, nadi, dan dahi Dewi .
"Dewi tidak apa - apa. Ia terjatuh bukan karena bola. Dewi kelelahan. Sepertinya ia kurang makan dan tidur." Kang Amin tersenyum. Anto melongo. Memperhatikan Dewi yang tergeletak di kasur klinik sekolah.
"Sepertinya ia memang tidur." Ragu. Anto menekan telapak kaki Dewi . Saat ia melihat kelopak mata Dewi bergerak - gerak, Dewi menoleh ke Kang Amin. "Kayaknya Dewi bangun, Kang."
Kang Amin tersenyum. "Ya, tolong ambil air segelas dan roti di meja itu. Dewi pasti lapar nanti." Anto mengangguk dan mengambil air dengan tangan kanannya dan roti dengan tangan kirinya.
"Mmm.. aku di mana?" tanya Dewi saat ia melihat Anto .
"Di klinik sekolah. Tadi kamu pingsan, Dewi ." Anto memandang Dewi khawatir. "Kamu tidak apa - apa kan?"
"Aku nggak pa- pa. Hanya kurang tidur ja. Tadi malam aku nggak tidur dan..." Suara perut Dewi menghentikan kata - katanya. Anto tersenyum. Ia memberikan air minum di tangannya.
"Minum dulu sedikit. Terus, makan roti ini. Kalau masih lapar ntar kutraktir bakso Malang depan sekolah."
"Ya. Terimakasih." Dewi minum air segelas yang diberikan oleh Anto dengan sekali teguk, hingga terbatuk - batuk.
"Hei, hati - hati. Pelan - pelan aja." Anto memberikan tisu pada Dewi , karena wajahnya basah terkena air yang nyembur dari batuknya sendiri.
Dewi tertawa sambil melap wajahnya." Ya. makasih."
"Ya. Ini rotinya. Kusobek sedikit - sedikit ya. Supaya bisa langsung kamu makan pelan - pelan. Khawatir tersedak dan batuk - batuk lagi."
"Kayak anak kecil aja. Tapi makasih, lho." Dewi tersenyum dan makan roti pemberian Anto . Dewi merasa senang Anto mau menemaninya d klinik sekolah. Ia punya pengalaman buruk di klinik. Seorang teman akrabnya, Hana pernah hampir meninggal karena ditinggal seharian di klinik sekolah. Dewi bergidik mengingatnya. Sampai saat ini Hana masih mengalami trauma ada di ruangan tertutup. Claustopobic. Untungnya, saat itu satpam sekolah ada yang kemalaman di sekolah dan mengecek klinik sekolah. Kalau tidak, Dewi tidak bisa membayangkannya.
"Hei. Masih ingat kejadian itu?" Anto memandangnya. Dewi mengangguk. "Tak usah diingat - ingat."
"Gimana keadaannya sekarang?" Anto menggelengkan kepalanya.
"Aku nggak tahu. Kudengar Tari sering chat dengannya di FB. Kata Tari, sekarang ia bertekad ingin jadi perawat untuk melawan traumanya."
"Hebat. Aku sendiri masih menyimpan rasa takutku dalam hati." Dewi menunduk.
"Kamu punya rasa takut?" Anto memandang Dewi tak percaya. "Kamu temanku yang paling berani yang kukenal."
"Benarkah?" Dewi mengangkat wajahnya. Anto mengangguk lagi. Meyakinkan Dewi .
"Kamu bisa tanya pada semua orang, kalau tak percaya."
Dewi menggeleng. "Tidak, aku percaya padamu Anto." Anto tersenyum.
"Kamu sudah baikan? Yuk ke kelas." Anto mengulurkan tangannya.
"Kamu duluan aja," kata Dewi. "Aku ingin tiduran sebentar lagi."
"Nggak takut nih?" Goda Anto. Dewi tertawa.
"Ya sudah, aku ke kelas duluan ya." Anto bangkit dari kursi dan melangkah ke pintu. Menoleh sebentar. Ia membuka pintu dan menutupnya pelan. Sambil berjalan ke kelas, Anto berharap Dewi baik - baik saja.
Sayangnya sepanjang pelajaran Anto tidak melihat Dewi. Kata Kang Amin, Dewi dijemput mamanya pulang. Tapi ia menitipkan surat untuk Anto. Surat yang kini ada di genggaman tangannya. Entah mengapa, Anto merasa pandangan matanya jadi tak jelas. Perlahan dibukanya surat Dewi. Matanya melihat guratan pena milik Dewi di atas kertas putih yang dipegangnya. Ia mengerjapkan matanya. Membaca surat Dewi.
Dear Anto,
Terima kasih telah menjadi temanku, sahabatku selama ini. Aku masih ingat pertama kali kita bertemu. Kamu membantuku menyelamatkan kucing yang hampir tenggelam di kali dekat sekolah. Sampai saat ini aku masih merawat kucing itu. Kucing itu sehat dan gemuk. Aku sayang sekali dengannya. Tapi, aku lebih sayang dengan orang yang telah membantuku menolongnya. Sampai saat nanti kita berjumpa lagi.
Sahabatmu,
Dewi
Anto memandangi surat itu tak percaya. Kenapa rasanya seperti surat perpisahan? Kenapa Dewi tak bicara langsung dengannya? Dan, kenapa ia sudah merindukannya meski belum lama ia berpisah? Kenapa? Anto memandang awan yang berarak di langit. Hatinya rindu.
Bandar Lampung, 21 September 2019
Komentar
Posting Komentar