Part 2
Sofi
Angin membelai pipinya. Tak ada yang lebh menyenangkan selain memperhatikan orang yang kita suka. Sofi mendengar ada suara helaan napas. Napasnya sendiri. Matanya mengikuti gerak langkah, senyum dan lekuk bibir Agli. Tak lama kemudian ia mendengar tawa Agli yang diselingi canda teman - temannya. Tawanya seperti musik di telinga Sofi. Rasanya mendengarnya seharian pun tak akan bosan. Seandainya. Ia menghela napasnya lagi.
"Agli emang ganteng, ya?" kata Tatiana sambil mengunyah permen di mulutnya. Sofi tak menoleh. Ia tahu Tatiana pun menyukai Agli. "Tapi Dia bukan tipeku. Worries not!" Tatiana mengangkat tangannya dan tertawa melihat mata Sofi yang melotot ke arahnya.
"Aku tak khawatir denganmu. Aku khawatir dengan hatimu," Sofi tersenyum. Matanya menatap ke arah Agli, "Bila kamu lebih mengenalnya, kamu pun akan mencintainya. Dia begitu ..." Sofi menghela napasnya. Lagi.
Tatiana menggelengkan kepalanya. "Lebih mengenalnya akan membuatku menganggapnya sebagai teman saja." Tatiana menepuk bahu Sofi pelan. "Tapi, aku tahu. Mata dan hatimu hanya tertuju padanya. Aku hanya heran, kenapa orang tuanya memberi nama Agli."
"Aku juga,"Sofi mendesah. Bibirnya tersenyum. Tatiana hanya tertawa melihat wajah Sofi yang seperti orang mabuk kepayang. Mabuk cinta.
Pertemuan Tak Terduga
"Kalau mati pun tidak 'kan ada yang berani menguburmu!" bentak Agli. Ia menjambak rambut Anes sekuatnya. Anes menggigit bibirnya. Bersumpah tak akan ada air mata buat Agli. Matanya menatap Agli garang. Agli menyipitkan matanya melihat sikap Anas. Dengan kesal, Agli menendangi perut Anes dan meludahi wajahnya. Agli melepas jambakannya sambil mengekeh. Melihat sejumput rambut Anes yang ada di genggaman tangannya. Tubuh Anes lunglai ke lantai. Ia sudah kehilangan kesadaran.
"Cih, kecoak seperti kalian hanya pantas makan kotoran!" Amuk ikut menimpali. Kakinya menendang tubuh Anes yang menghalangi langkahnya menuju pintu.
"Jangan menyentuhnya!" Agli menatap Amuk dingin. "Sekali lagi kamu lakukan itu. Kupatahkan tulang yang melakukan itu." Mata Agli menatap Amuk lurus. Dingin. Amuk menelan ludah. Menganggukkan kepalanya. Tak sengaja kakinya tersandung tangan Anes yang tergeletak di dekat kaki meja. Gugup. Ia membungkuk. Mengusap tangan Anes, lalu menegakkan tubuhnya. Memandang ke arah Agli dengan takut - takut. Lalu, menunduk lagi dengan cepat. Hampir saja ia menggigit lidahnya sendiri.
"Katakan dengan lidahmu. Atau kupatahkan kakimu sekarang." Agli mendekati Amuk. Mata Agli berkilat. Tubuh Amuk gemetar. Ketakutan. Ia sadar Agli tidak main - main. Tanpa melihat pun Amuk bisa membayangkan ekspresi Agli. Rahangnya yang menegang. Otot tangannya mengeras. Siap mematahkan tulang - tulang Amuk. Mulut Amuk kering. Susah payah ia berucap dengan lirih.
"Ba- baik, Ag-agli..." kata Amuk gagap. Kaki Amuk rasanya mau copot melihat tatapan Agli. Seperti tatapan predator yang haus darah. Ia pernah dengar Agli membunuh dua orang yang mencuri di kampungnya dengan tangan kosong. Amuk begidik. Ia tak mau berurusan dengan Agli dan menyesali tindakannya tadi. Ikut campur urusan Agli. Padahal ia tak tahu masalahnya.
Baru saja Amuk merasa lega, tiba - tiba Agli telah ada di depannya. Dan, krak! Terdengar suara tulang dipatahkan. Amuk mendengar suara jeritan kesakitan. Ia tak tahu suara itu datang dari mulutnya sendiri. Ia pingsan. Menemani Anes yang masih tergeletak di lantai. Agli menggelengkan kepalanya.
"Biadab!" Suara Sofi membuat Agli mengangkat wajahnya. Dahinya berkerut melihat kemarahan Sofi.
"Bagaimana Kau bisa tiba di sini?" Agli memegang tangan Sofi yang dingin. "Mana, Gart?"
Plak! Tangan dingin itu kini menampar Agli. "Kamu biadab! Kau apakan adikku?!"
Agli mengusap pipinya dan menunjukkan tangan ke arah dua tubuh yang teronggok di lantai. "Yang mana?"
"Kamu tahu yang mana!" Sofi membentak Agli. Ia membungkuk, dan memeriksa tubuh Anes. Tak ada luka berarti. Hanya memar di kepala. Mungkin itu yang membuatnya pingsan. Dahi Sofi berkerut melihat ada ceceran rambut Anes yang rontok.
"Kamu gila! Kamu menjambak adikku?!" Sofi membuka baju adiknya dan melihat lebam di kulit perut adiknya yang putih. Tubuh Sofi gemetar menahan emosi yang ditahannya. Marah, kesal, kecewa, dan sedih. Perasaan yang membuat matanya memerah.
"Anes penghianat!" Agli memijat lehernya yang sakit. "Ia menyusup bersama teman - temannya."
"Kamu jahat!" Tiba - tiba Sofi bangkit. Memukuli tubuh besar Agli. Tangan kecilnya berusaha melukai Agli. Agli hanya diam saja. Tak berusaha menghentikan tangan Sofi yang memukulnya. Hanya saja hatinya tak kuat melihat air mata Sofi. Rasanya ia ingin menjerit. Lari. Pergi jauh bersama Sofi. Meninggalkan semua ini. Tapi, ia tak bisa. Demi Anes.
"Ssh.. Tenangkan dirimu.." Dengan hati - hati Agli memegang kedua tangan Sofi. Memeluknya. "Aku lakukan ini demi adikmu. Untuk keselamatannya. Kamu harus mengerti." Agli mencium kepala Sofi. Lembut. "Aku tak mungkin melukai adikmu karena aku mencintaimu. Kamu percaya aku, kan?"
"Tidak! Aku tak percaya!" Sofi membentak pelan. Ia sudah kelelahan memukuli tubuh Agli yg keras. Seperti memukul batu saja. Nafasnya sudah ngos-ngosan. Dadanya turun naik.
Agli menghela napas. Ia mencium dahi Sofi dan melepaskan pelukannya. Meski tangan kirinya tetap menahan tubuh Sofi agar tak jatuh.
"Aku tak mau ada yang melukaimu dan adikmu. Kalian keluargaku." Mata Agli menatap Sofi. Agli berusaha membuat Sofi mengerti tanpa ia harus bicara banyak. Tapi, Agli tahu wanita menuntut tak hanya bukti dalam perbuatan. Sofi juga butuh kata - kata. Penjelasan.
"Duduklah," pinta Agli. Ia membimbing istrinya ke kursi. Mendorongnya pelan untuk duduk. "Aku tak ingin kamu sakit." Agli menekukkan kedua lututnya. Memposisikan dirinya agar wajahnya sejajar dengan Sofi. Agli, lalu meletakkan tangannya yang besar di bahu istrinya. "Aku tahu, kamu marah dan kecewa. Aku akan jelaskan semuanya nanti malam. Bersabarlah." Agli mendekatkan wajahnya. Ingin mencium dahi istrinya. Tapi Sofi melengos. Jadi Agli hanya menatap Sofi dengan sedih. Ia lalu menegakkan tubuhnya. Melangkah ke arah tubuh Anes yang terbaring di lantai. Ia membungkukkan tubuhnya, mengangkat tubuh Anes seolah mengangkat anak kecil yang ringan. Lalu, ia meletakkan tubuh Anes ke dipan yang menempel di dinding. Lalu, melakukan hal yang sama pada Amuk. Dengan efisien Agli memperbaiki tulang kaki Amuk yang ia patahkan. Menyangganya dengan kayu. Dan, membebatnya dengan kain yang ia robek dari sprei yang teronggok di sudut dipan. Dengan teliti Agli memeriksa kaki Amuk dan mengangguk puas saat ia melihat kaki Amuk tidak bengkak. Lalu, Agli menggeser tubuh Amuk pelan. Merapikan posisinya agar nyaman. Setelah selesai dengan Amuk, Agli melangkah ke dipan Anes. Duduk di sampingnya. Agli mengerutkan dahinya saat ia memeriksa denyut nadi Anes. Ia membuka baju Anes dan menepuk - nepuknya. Kerutan di dahinya makin dalam.
"Apakah adikmu mempunyai masalah dengan pencernaan dan jantung?" Tanya Agli tanpa menoleh. "Denyut nadi adikmu lemah, dan perutnya kembung. Kelihatannya Anes tidak menjaga pola makannya. Ia juga underweight." Lanjut Agli tanpa menunggu jawaban Sofi. Ia tahu Sofi sudah lama tak bertemu dengan adik satu - satunya itu. Anes sudah lama merantau, dan tidak pernah memberi kabar. Sebagai seorang penjelajah, Anes memang selalu berpindah - pindah. Agli pun tak pernah melihat Anes kecuali dari photo keluarga yang tergantung di ruang tamu keluarga Sofi. Ruang tamu yang kini pun telah terbakar bersama rumah peninggalan ayah Sofi.
Lembut. Agli mengusap wajah dan rambut Anes. Melap wajah Anes dengan sisa kain yang dirobeknya tadi. Ia lalu merogoh saku celananya. Mengeluarkan pil warna hijau, putih, dan merah.
"Tolong ambilkan air itu, Sofi." Agli menoleh ke istrinya yang hanya diam memperhatikannya.
"Itu apa?" Tanya Sofi sambil menyerahkan botol minum ke tangan Agli.
"Obat herbal," jawab Agli sambil menggumamkan terima kasih, dan meminumkan obat - obat itu ke mulut Anes. "Untuk meredakan sakitnya," jelas Agli lagi. Mata Agli terus menatap Amuk yang terlihat mulai sadar. Ia lalu menekan gawainya. Mengirim tanda pada Gart.
Sofi menoleh melihat seorang pria yang tiba - tiba ada di dekatnya.
"Bawa perempuan ini pergi!" Perintah Agli. Pria itu mengangguk. Sekejap Sofi ingin membantah. Tapi, ia melihat pandangan Agli. Ia sadar ia tak punya pilihan.
Tanpa menoleh, Sofi mengikuti langkah pria itu. Keluar ruangan yang berisi dua orang pria yang ia cintai. Kakinya berat. Rasanya ia ingin berbalik. Menuntut penjelasan Agli sekarang juga. Tapi, ia khawatir. Tak tahu apa yang terjadi. Apa yang disembunyikan adik dan suaminya selama ini. Ia merasa dalam kegelapan. Banyak rahasia dan kebohongan yang disembunyikan suami dan adiknya. Keluarganya yang masih tersisa. Itu membuatnya sangat marah, kesal, dan kecewa. Lebih dari sebelum ia masuk ke ruangan tadi. Lebih dari kemarahan saat ia tahu orang - orang yang membakar rumah ayahnya adalah orang - orang kepercayaan ayahnya. Orang - orang yang praktisnya ikut membesarkannya. Orang - orang yang... Sofi mendadak membalikkan tubuhnya. Memandang wajah Gart yang sangar. Sofi tersenyum manis. "Tak bisa dengan kekasaran. Ia bisa sedikit menggoda orang kepercayaan Agli," pikirnya.
Gart diam. Sama sekali tak bergeming. Bahkan matanya tetap menatap lurus. Seolah Sofi tak ada di sana. Gart berharap ia tak di sini. Ia lebih suka di luar sana daripada jadi babysitter istri atasannya. Tapi, tugas adalah tugas.
Bandarlampung, 28 September 2019
Keren. Semangat, Mbk. Bagus ceritanya
BalasHapusMakasih sudah mampir, Cak.
Hapus