Pejuang Koin di Tanah Koga
Koga, nama sebuah pasar tradisional yang sudah ada jauh sebelum aku lahir. Bahkan emakku yang lahir di tahun 1956 sempat merasakan masa kanak - kanak berjualan minyak tanah di pasar Koga. Pasar Koga yang awalnya merupakan barak tentara Korem Bandar Lampung. Ya, Pasar Koga kata emakku merupakan satu - satunya pasar milik Korem di Bandar Lampung. Pasar yang sempat jaya di tahun 90an. Sebelum kebakaran di akhir tahun 90an terjadi. Sebelum toko modern dan pasar online marak dan mendominasi perputaran ekonomi saat ini.
sumber gambar clipart portal
Kenangan di tahun 1990an
Aku masih ingat masa kecilku berjualan di pasar. Membantu ibu yang memang berprofesi pedagang. Beberapa kali ibu beralih produk dagangan, dari jualan baju, sayur asam, sayur - sayuran, cendol, pecah belah, bunga, sembako dan akhirnya sejak tahun 2000an ibu jualan mainan.
Aku sempat merasakan betapa ramenya jualan di tahun 90an. Saat jualan sayur, ibu dan bapak ke pasar Gintung jam 1 dini hari. Belanja. Menggelar dagangan di pasar Koga jam 3 dini hari. Aku dan adikku, Yogis (almarhum) membantu di pasar jam 4 sampai jam 5 pagi. Jam 5 kami pulang untuk siap - siap ke sekolah. Mba De mengurus adikku yang saat itu masih kecil.
Minggu adalah hari yang seru bagi kami, karena kami bisa menghabiskan waktu di pasar. Bisa jajan makanan kesukaan kami. Mie comot dan cenil. Kami juga bisa liat - liat baju dan sepatu, meski tak beli.
Tiap produk jualann yang kami jual selalu menyisakan kenangan yang tak terlupa. Misalkan, saat jualan sayur kami selalu bangun dini hari untuk belanja. Uangnya lumayan, tapi ibu banting setir jualan sembako karena tak tahan lelahnya. Saat jualan bunga plastik pun sempat merasakan kejayaan sangking larisnya. Begitu pun bunga hidup, sayur asam. Semuanya berhenti karena alasan capek atau kurang menguntungkan lagi. Sekarang kami sudah jualan mainan lebih kurang 10 tahun. Ibu cukup menikmati karena langganannya didominasi anak - anak. Tentu saja, alasan lainnya adalah mainan itu tidak layu, busuk, atau kadaluwarsa.
Pejuang Koin di Tanah Koga
Bicara tentang koin, pasti ingat dengan nilainya yang kecil dan seolah tak berharga. Tapi, kebayang kan kalau jumlahnya banyak. Koin yang banyak pun dapat menghidupi sebuah keluarga. Sebagaimana keluargaku. Kami pun pejuang koin yang masih tetap bertahan di tanah Koga.
Kamu mungkin heran kenapa kubilang pejuang koin kan? Akan kukatakan alasannya dalam beberapa jenis pedagang atau usaha yang terlibat di tanah Koga.
- Parkir yang dulu di tahun 90an bisa dapat lebih dari Rp.200.000 per hari, sekarang mungkin hanya dapat Rp.10.000 - Rp.20.000. Dengan rentang harga parkir dulu Rp 1000 per kendaraan dan sekarang Rp.2.000 per kendaraan.
- Pedagang baju/emas/hordeng/sepatu dan sejenisnya bisa seharian sama sekali tidak dapat penglaris. Kalau dulu sih sehari bisa dapat Rp.500.000 sd Rp. 1.000.000
- Tukang salar yang dulu bisa dapat lebih dari Rp. 1.000.000 sekarang dapat Rp.700.000 saja sudah bersyukur. Gimana nggak. Ibu dulu bayar Rp 5.000 karena warungnya agak besar. Sekarang hanya Rp. 2.000. Dan dari 100 lebih toko yang ada sekarang lebih dari setengahnya tutup, karena penyewanya pindah pasar. Belum lagi pedagang ngemper yang lebih suka jualan di pasar tempel Way Dadi sukarame yang lebih rame.
- Pengamen yang hampir tiap hari datang, kulihat sepi koin juga. Jarang yang nyawer karena jualan sepi.
- Peminta - minta pun demikian. Meski aku tahu pastinya. Yang kutahu jumlah pengemis jadi semakin banyak di Koga. Padahal Koga tak serame dulu lagi.
- Pedagang sayur/gorengan/kue/lontong dan yang sejenis sering membagi - bagi jualannya karena tak laku.
Sebagai efek dari lemahnya kondisi perputaran uang di Koga membuat lesunya pedagang untuk bertahan di Koga. Meski ada bisnis kosmetik dan emas yang masih mengalami jaya di masa tertentu.
Kondisi Koga ini menurutku bisa diperbaiki dengan memperbaiki keadaan dan pelayanan marketingnya. Penggunaan opsi gopay, gojek atau versi e-money lain selayaknya jadi pertimbangan baru agar Koga dapat bertahan di hari esok.
Bandar Lampung, 17 September 2019
Komentar
Posting Komentar