Ratu Menak
Bagian Pertama
Raja
Raja tertawa. Gemanya menggelegar memekakkan telinga Ratu yang hanya duduk di pinggir kursinya yang reot. Hampir patah. Ratu tak mengira Raja yang ia kenal akan berubah seperti orang asing. Tubuh Raja yang dulu tak sekekar sekarang. Otot - otot lengan yang bertonjolan itu membuat Ratu bergidik. Membayangkan lengan itu menghantamnya. Ia pasti remuk. Seperti kerupuk. Ratu menatap tangannya yang bahkan ia pikir lebih lembut dari tangan Kanjeng, adik perempuannya. Duh, bagaimana caranya membela diri. Sementara jalan keluar dijaga ketat oleh Raja. Pintu satu - satunya terkunci. Kuncinya dibuang Raja ke luar jendela. Jendela yang kini dijadikan tempat bersandarnya. Seandainya Raja tidur. Ratu bisa kabur. Seperti tahu yang ia pikirkan, Raja menatapnya. Matanya merah. Tawanya berubah jadi kekehan yang menakutkan. Gigi yang dulu putih dan rata. Kini hitam dan terlihat tajam. Ratu tak tahu apa yang terjadi dengan gigi Raja.
"Kamu ingin tahu apa yang terjadi pada diriku?" Raja terkekeh. Liurnya menetes di antara gigi - gigi hitamnya. Tubuh Ratu gemetar. Matanya menatap Raja tak percaya. Melihat Raja menggigit lengannya sendiri. Merobeknya dan meminum darahnya. Sontak Ratu muntah. Mengeluarkan isi perutnya yang hanya air, karena Ratu sudah tidak makan dari kemarin. Tapi ia merasa perutnya mual. Melihat Raja yang mengunyah dagingnya sendiri. Rambut Raja yang panjang dan hitam membuatnya terlihat seperti hantu. Hantu kematian. Matanya gelap mencekam tajam. Bulu kuduk Ratu berdiri. Raja terus menatapnya. Bibirnya melengkung ke atas. Membentuk tarikan seperti seringai. "Mau coba?" Ratu menggeleng. Menutup mulut dan hidungnya. Mata Ratu pun mulai berair. Tuhan, ampuni aku. Mahluk apa ini? Hati Ratu merintih. Menunduk. Tak mau melihat wajah Raja yang penuh dengan darahnya sendiri, Ratu menatap lantai. Granit hitam pekat yang keras. Mengkilat tertimpa sinar bulan. Ratu melihat ujung kaki Raja yang penuh darah. Merah. Lalu,.hitam dan ia tak ingat apa-apa lagi.
Lamat - lamat Ratu mendengar gemericik air. Angin dingin meniup wajahnya. Ratu membuka matanya. Di atas wajahnya Raja tersenyum. Nafasnya menyapu di wajah Ratu. Bau mint. Ratu melihat lengan Raja yang diperban. Lalu, ia melihat senyum putih dan rata Raja. Rambutnya pun rapi. Pendek dan bersih. Ratu mengerutkan dahi. Kepalanya sakit.
"Kau memakan dagingmu sendiri," Ratu memandang Raja dengan jijik. "Jangan sentuh aku," desisnya saat Raja mendekatinya. Tangan Raja yang terulur, ditariknya kembali.
"Kau sakit. Itu hanya dillusi." Raja menoleh pada seorang pria putih berkemeja putih dan berkaca mata yang sejak tadi berdiri di dekat pintu. Memperhatikan. Pria itu mengangguk. "Panas tubuhnya tinggi sekali."
"Aku tidak sakit!" Ratu berteriak. "Kau yang sakit!"
"Hati - hati. Tenaganya kuat." Ratu mendengar suara Raja sebelum ia tak sadarkan diri. Lagi. "Tadi malam ia menggigit dan memukulku."
Selama dua hari Ratu hanya tertidur. Dalam pandangannya yang mengabur, Ratu melihat tangan dan kakinya yang terikat di tempat tidur. "Ini demi kebaikanmu. Supaya kamu tak menyakiti dirimu," bisik suara itu. Raja. Ia juga mengusap kepala Ratu, seperti Umi. Hanya saja, Ratu tak merasa tenang. Sentuhan tangan Raja membuat tubuhnya merinding. Ketakutan. Ia berusaha menggerakkan kakinya. "Tenang. Kau tak bisa melakukan apa pun. Semua orang percaya padaku. Lihat dirimu." Raja mendekatkan cermin di depan wajah Ratu. Mata Ratu terbelalak melihat wajah merah penuh cakaran di cermin. "Kau mencakar dirimu sendiri tadi malam. Semua orang melihatmu." Raja berkata tenang. Tanpa emosi. "Bahkan kau ingin merobek wajahmu dengan pisau buah yang dibawa Umi." Lanjut Raja dengan simpati palsu. Tenggorokan Ratu kering. "Oya, kamu juga melawan saat Umi ingin mengambil pisau itu dari tanganmu. Umi takut kamu melukai dirimu. Lebih dari ini. " Raja memutar jarinya di depan wajah Ratu. "Akhirnya, kamu mendorong Umi, dan menancapkan pisau itu ke perut Umi." Raja menggeleng dengan pandangan sinis. Ratu terbelalak. Air mata merembes dari sudut matanya.
"Tak mungkin. Tidaakkkk!' Jerit Ratu histeris. Ia terus berteriak hingga jatuh tak sadarkan diri. Sementara Raja menatap tubuh lunglai Ratu dengan senyum kepuasan. Wajah tampannya tenang. Ia melipat tangan di dadanya, lalu duduk di tepi tempat tidur Ratu. Menyentuh tubuh kaku dan dingin yang terbujur di sampingnya. Bibir Raja tersenyum. Dingin. Ia membayangkann apa yang akan ia lakukan pada anak - anak panti dan Ratu. Pewaris harta miliaran miik Umi. Perlahan ia megeluarkan gawai dari saku celananya. Mulai menulis.
Selama dua hari Ratu hanya tertidur. Dalam pandangannya yang mengabur, Ratu melihat tangan dan kakinya yang terikat di tempat tidur. "Ini demi kebaikanmu. Supaya kamu tak menyakiti dirimu," bisik suara itu. Raja. Ia juga mengusap kepala Ratu, seperti Umi. Hanya saja, Ratu tak merasa tenang. Sentuhan tangan Raja membuat tubuhnya merinding. Ketakutan. Ia berusaha menggerakkan kakinya. "Tenang. Kau tak bisa melakukan apa pun. Semua orang percaya padaku. Lihat dirimu." Raja mendekatkan cermin di depan wajah Ratu. Mata Ratu terbelalak melihat wajah merah penuh cakaran di cermin. "Kau mencakar dirimu sendiri tadi malam. Semua orang melihatmu." Raja berkata tenang. Tanpa emosi. "Bahkan kau ingin merobek wajahmu dengan pisau buah yang dibawa Umi." Lanjut Raja dengan simpati palsu. Tenggorokan Ratu kering. "Oya, kamu juga melawan saat Umi ingin mengambil pisau itu dari tanganmu. Umi takut kamu melukai dirimu. Lebih dari ini. " Raja memutar jarinya di depan wajah Ratu. "Akhirnya, kamu mendorong Umi, dan menancapkan pisau itu ke perut Umi." Raja menggeleng dengan pandangan sinis. Ratu terbelalak. Air mata merembes dari sudut matanya.
"Tak mungkin. Tidaakkkk!' Jerit Ratu histeris. Ia terus berteriak hingga jatuh tak sadarkan diri. Sementara Raja menatap tubuh lunglai Ratu dengan senyum kepuasan. Wajah tampannya tenang. Ia melipat tangan di dadanya, lalu duduk di tepi tempat tidur Ratu. Menyentuh tubuh kaku dan dingin yang terbujur di sampingnya. Bibir Raja tersenyum. Dingin. Ia membayangkann apa yang akan ia lakukan pada anak - anak panti dan Ratu. Pewaris harta miliaran miik Umi. Perlahan ia megeluarkan gawai dari saku celananya. Mulai menulis.
Bersambung..
Bandarlampung, 26 September 2019
nice. pangerannya mana?
BalasHapuspangerannya muncul di part dua. besok ya hehe
Hapus