Bunga di Musim Kemarau Part 1
Langit terang. Daun-daun pun terlihat beterbangan. Tertiup angin. Kering. Menyisakan pohon-pohon yang meranggas di bulan Oktober. Meninggalkan harapan yang kian menipis dimakan waktu.
Amy menghembuskan nafasnya, memandang wajah adiknya, Ana, yang menekur di lantai.
"Kamu tak berpikir bahwa yang kita lakukan ini menyalahi hukum, Kak?"
"Kita tak bisa membiarkan mereka tidak menguburkan kak Yada di kuburan yang layak, karena ia bekas seorang penjahat."
Ana mendongakkan wajahnya. Memandang wajah kakaknya. Wajah Ana bersimbah air mata. Basah.
"Seandainya kita punya pilihan lain, Kak." Ana menjawab lirih. Tangannya menyapu air mata yang terus menetes di wajahnya.
Amy mengepalkan tangannya. "Kalau saja aku laki-laki. Aku akan melawan mereka." Ana tercekat mendengar ucapan kakaknya. Ia menutup wajahnya. Air matanya kian deras mengalir di wajahnya. Amy mendekati adiknya dan memeluknya dengan sayang. "Jangan khawatir, Kakak nggak akan melakukan itu. Kakak hanya kesal, karena kita tak berdaya." Perlahan Amy melepaskan pelukannya dan mencium kening adiknya. "Tidurlah. Besok kita pikirkan rencana selanjutnya."
"Tapi, Kak." protes Ana. Tangan Amy menyentuh bahu adiknya.
"Istirahat. Tidur yang cukup. Kesehatanmu lebih penting. Masalah ini kita selesaikan, besok."
"Kakak mau ke mana," tanya Ana melihat Amy mengenakan jilbab dan jaketnya. Amy tersenyum.
"Kakak ingin bertemu dengan kak Hara sebentar." Ana memperhatikan Amy membuka pintu dan menutupnya pelan. Pikiran Ana melayang pada mayat kak Yada yang sampai saat ini masih ada di ruang mayat rumah sakit, karena mereka tak bisa membawanya pulang. Mereka belum mendapatkan ijin untuk menguburkan kak Yada di kuburan kampung. Orang kampung begitu membenci kak Yada. Padahal kak Yada sudah bertobat. Ia bahkan menyumbangkan semua uangnya untuk membangun sekolah dan masjid di kampung.
Tapi di belakang kak Yada, mereka selalu mencemooh mereka. Menghina niat baik kak Yada. Ana masih ingat ucapan mereka yang terang- terangan di depannya dan kak Ana.
"Uang haram nggak bisa membersihkan kejahatan kakakmu. Ia nggak pantas dikubur di kampung nanti. Mengotori tanah kampung saja!" kata pak Tono, tetangga mereka. "Nggak ada yang bisa bikin orang jahat jadi baik mendadak! Jangan-jangan kalian pun makan hasil uang haram kakakmu itu!"
"Tapi, kenapa kalian menerima uang kak Yada?" tanya kak Amy kesal. Beberapa ibu-ibu tertawa mendengar pertanyaan kak Amy
"Jangankan uang dari perampok, uang dari setan pun kami terima," cetus ibu-ibu dari belakang mereka sambil tertawa. Yang lain mengiyakan sambil mencibir ke arah mereka.
Air mata Ana mengalir mengingat ucapan orang kampung. Padahal mereka begitu manis dan ramah saat menerima uang pemberian kak Yada. Bahkan mereka selalu mengajak kak Yada untuk ikut gotong royong tiap Jumat dan Minggu di balai desa. Beberapa kali ia dan kak Ana menceritakan perkataan orang kampung pada kak Yada, Kak Yada hanya tersenyum. Tak bicara apa-apa. Meski Ana tahu, kak Yada pasti merasa sedih dengan sikap orang kampung terhadapnya.
Pernah suatu malam Ana terbangun karena haus, mendapati kak Yada menangis dalam shalat malamnya. Ana ingat rintihannya yang menyobek hatinya.
'Ya Allah jika umurku ini tak memberi manfaat lagi bagi diriku dan orang lain, maka cabutlah nyawaku saat ini juga. Ya Allah, ampunilah dosa hamba-Mu ini..'
Sedang hari ini pun, tubuh kak Yada terbaring di ruang mayat. Belum dikubur. Padahal kak Yada telah meninggal dua hari yang lalu karena berkelahi dengan perampok yang hendak merampok rumah pak Tono, tetangga sekaligus juragan tempe di kampungnya. Padahal kak Hanif yang juga meninggal dalam usaha mencegah perampokan bersama kak Yada telah dikuburkan hari itu juga. Bahkan hari ini orang kampung sedang Yasinan hari ke tiga di rumah kak Hanif. Sedang kak Yada.. Ana menghentikan pikirannya, tangisnya makin menjadi. Bantalnya pun makin basah.
Bersambung..
Bandarlampung, 29 Oktober 2019
Tulisan ini untuk memenuhi Tantangan Minggu ke 8 Menulis cerita 5 episode
Pernah suatu malam Ana terbangun karena haus, mendapati kak Yada menangis dalam shalat malamnya. Ana ingat rintihannya yang menyobek hatinya.
'Ya Allah jika umurku ini tak memberi manfaat lagi bagi diriku dan orang lain, maka cabutlah nyawaku saat ini juga. Ya Allah, ampunilah dosa hamba-Mu ini..'
Sedang hari ini pun, tubuh kak Yada terbaring di ruang mayat. Belum dikubur. Padahal kak Yada telah meninggal dua hari yang lalu karena berkelahi dengan perampok yang hendak merampok rumah pak Tono, tetangga sekaligus juragan tempe di kampungnya. Padahal kak Hanif yang juga meninggal dalam usaha mencegah perampokan bersama kak Yada telah dikuburkan hari itu juga. Bahkan hari ini orang kampung sedang Yasinan hari ke tiga di rumah kak Hanif. Sedang kak Yada.. Ana menghentikan pikirannya, tangisnya makin menjadi. Bantalnya pun makin basah.
Bersambung..
Bandarlampung, 29 Oktober 2019
Tulisan ini untuk memenuhi Tantangan Minggu ke 8 Menulis cerita 5 episode
Pengen kasih cabe ke ibu-ibu yang mau nerima uang kak Yada.
BalasHapusSemangat!!!
BalasHapusHikshiks
BalasHapusSedih:"
BalasHapussedih ...
BalasHapus