Cerita Kayu
Gemericik air jatuh di tanah ditingkahi deru angin yang menampar wajahku. Membuatku terpaku menatap seonggok kayu yang berserak di depan kakiku. Mataku menghitung guratan halus dan kasar yang menyembul di kulit luar kayu. Menandakan usia yang sudah menggerogotinya. Mencemooh waktu yang pergi meninggalkannya. Sementara daun-daun yang meranggas tertiup angin memenuhi sudut pandangku yang mulai tak terlihat. Debu mewarnai sepanjang jarak pandang. Kemarau di bulan Oktober memetakan jalan retak di sepanjang tanah kering. Tanah Kedaton.
Lamat terdengar di telinga Fatma gema takbir orang-orang yang sedang menyalati kakaknya yang meninggal tadi malam. Fatma hanya duduk di pelataran masjid Al-Awwal, menunggu di luar karena ia sedang menstruasi. Tak bisa ikut menyalati kakak tersayangnya. Meski begitu, bibir dan hatinya terus bergetar, lirih mengantar kepergian kakak tercinta dengan doa yang ia mengerti. Di usia yang menginjak 11 tahun, ia tahu bahwa kehidupan ini hanya persinggahan. Sementara. Ia juga mengerti bahwa gilirannya pun akan tiba nanti. Berkumpul bersama kakak, ayah dan ibunya yang sudah lebih dulu pergi. Ia tersenyum. Air matanya menetes satu persatu. Membasahi pipinya. Tapi, ia tak sedih. Kakak, ayah dan ibu pasti sudah menyediakan tempat untuknya. Ia tak akan pernah sendiri.
"Sedang apa, Dik?" Seorang ibu berjilbab hitam menyentuh bahunya. Fatma memandang wajahya yang ramah. Lalu, mata ibu itu memandang jemaah yang sedang melakukan shalat jenazah di dalam masjid. Ibu itu terlihat mengerti dan memandang Fatma dengan iba. "Adik sudah makan?' tanya ibu itu sambil memandang wajah Fatma. Tangan ibu itu memegang bahu kurus Fatma agar ia dapat berhadapan dengan Fatma. Ibu itu tahu, Fatma tak bisa bicara karena trauma kecelakaan orang tuanya setahun lalu. Ibu itu tersenyum. "Nama ibu Fatimah. Namamu Fatma, kan? Nama kita hampir sama." Bu Fatimah membuka tangannya. Ada bros kecil dengn inisial nama Fatimah di tangannya.
"Ini untuk Fatma. Tanda perkenalan kita." Bu Fatimah meletakkan bros kecil itu di tangan Fatma. "Ini buatan ibu sendiri. Nanti Fatma ibu ajarkan cara membuatnya. Mau?"
Fatma mengangguk. Tangan Fatma menulis ucapan terima kasih di buku kecil yang selalu dibawanya. Menunjukkan tulisan itu pada bu Fatimah.
"Ibu tahu." Bu Fatimah mencium dahi Fatma. Perlahan bu Fatimah menggenggam tangan kecil Fatma. Menemaninya melangkah mengantar kakak Fatma ke peristirahatan terakhirnya. Fatma memandang ke arah ibu Fatimah yang berjalan bersamanya. Lalu, matanya memandang keranda mayat kakaknya yang terbungkus kain hijau bertulis nama Allah. Keranda dari onggokan kayu yang ia lihat dalam mimpinya. Kayu yang kini ikut menemani kakak tercintanya. Kaki kecilnya setengah berlari mengimbangi langkah peziarah dewasa di depannya. Semerbak wangi kamboja memenuhi udara di pekuburan. Bunganya yang kemerahan memenuhi tanah makam di sekitarnya. Tangan kecilnya digenggam erat oleh bu Fatimah. Ia menatap wajah orang - orang yang mengantar kakaknya. Tak ada yang tak asing baginya. Ia dan kakaknya memang baru pindah dua minggu lalu dari Jakarta. Merantau jauh dari kampung halaman. "Kita tinggal di Lampung saja," kata kakak waktu itu. "Nanti kita pulang temui ayah dan ibu saat lebaran." Fatma mengangguk. Ia tak tahu jika hari ini kakak harus pulang duluan. Meninggalkannya untuk pulang ke kampung sendiri. Fatma membungkuk, menggenggam tanah pusara kakak dan menyimpannya di sakunya. Ia akan membawa pulang tanah kakak. Nanti.
Bandarlampung, 24 Oktober 2019
Lamat terdengar di telinga Fatma gema takbir orang-orang yang sedang menyalati kakaknya yang meninggal tadi malam. Fatma hanya duduk di pelataran masjid Al-Awwal, menunggu di luar karena ia sedang menstruasi. Tak bisa ikut menyalati kakak tersayangnya. Meski begitu, bibir dan hatinya terus bergetar, lirih mengantar kepergian kakak tercinta dengan doa yang ia mengerti. Di usia yang menginjak 11 tahun, ia tahu bahwa kehidupan ini hanya persinggahan. Sementara. Ia juga mengerti bahwa gilirannya pun akan tiba nanti. Berkumpul bersama kakak, ayah dan ibunya yang sudah lebih dulu pergi. Ia tersenyum. Air matanya menetes satu persatu. Membasahi pipinya. Tapi, ia tak sedih. Kakak, ayah dan ibu pasti sudah menyediakan tempat untuknya. Ia tak akan pernah sendiri.
"Sedang apa, Dik?" Seorang ibu berjilbab hitam menyentuh bahunya. Fatma memandang wajahya yang ramah. Lalu, mata ibu itu memandang jemaah yang sedang melakukan shalat jenazah di dalam masjid. Ibu itu terlihat mengerti dan memandang Fatma dengan iba. "Adik sudah makan?' tanya ibu itu sambil memandang wajah Fatma. Tangan ibu itu memegang bahu kurus Fatma agar ia dapat berhadapan dengan Fatma. Ibu itu tahu, Fatma tak bisa bicara karena trauma kecelakaan orang tuanya setahun lalu. Ibu itu tersenyum. "Nama ibu Fatimah. Namamu Fatma, kan? Nama kita hampir sama." Bu Fatimah membuka tangannya. Ada bros kecil dengn inisial nama Fatimah di tangannya.
"Ini untuk Fatma. Tanda perkenalan kita." Bu Fatimah meletakkan bros kecil itu di tangan Fatma. "Ini buatan ibu sendiri. Nanti Fatma ibu ajarkan cara membuatnya. Mau?"
Fatma mengangguk. Tangan Fatma menulis ucapan terima kasih di buku kecil yang selalu dibawanya. Menunjukkan tulisan itu pada bu Fatimah.
"Ibu tahu." Bu Fatimah mencium dahi Fatma. Perlahan bu Fatimah menggenggam tangan kecil Fatma. Menemaninya melangkah mengantar kakak Fatma ke peristirahatan terakhirnya. Fatma memandang ke arah ibu Fatimah yang berjalan bersamanya. Lalu, matanya memandang keranda mayat kakaknya yang terbungkus kain hijau bertulis nama Allah. Keranda dari onggokan kayu yang ia lihat dalam mimpinya. Kayu yang kini ikut menemani kakak tercintanya. Kaki kecilnya setengah berlari mengimbangi langkah peziarah dewasa di depannya. Semerbak wangi kamboja memenuhi udara di pekuburan. Bunganya yang kemerahan memenuhi tanah makam di sekitarnya. Tangan kecilnya digenggam erat oleh bu Fatimah. Ia menatap wajah orang - orang yang mengantar kakaknya. Tak ada yang tak asing baginya. Ia dan kakaknya memang baru pindah dua minggu lalu dari Jakarta. Merantau jauh dari kampung halaman. "Kita tinggal di Lampung saja," kata kakak waktu itu. "Nanti kita pulang temui ayah dan ibu saat lebaran." Fatma mengangguk. Ia tak tahu jika hari ini kakak harus pulang duluan. Meninggalkannya untuk pulang ke kampung sendiri. Fatma membungkuk, menggenggam tanah pusara kakak dan menyimpannya di sakunya. Ia akan membawa pulang tanah kakak. Nanti.
Bandarlampung, 24 Oktober 2019
Aq sedih bacanya
BalasHapusaku juga mbak.. tema belakangan ini jadi agak melo..
HapusSedih bacanya. tapi bagus karena bisa membuat pembacanya sedih.
BalasHapusterima kasih mbak
Hapus