Cinta Ini pun Membunuhku
Kata cinta itu begitu erat dalam kehidupan manusia. Hampir semua tindakan kita dimotori oleh rasa ini. Rasa yang buat hidup terasa indah, dan berbalik jadi menyedihkan jika rasa ini hilang atau kandas. Rasa ini pun jadi tertuduh atas tindakan yang mungkin dianggap tak bertanggungjawab atau merugikan. Sebagaimana, ia jadi suluh penerang bagi kehidupan yang terlihat tanpa harapan. Membangkitkan dan menyemangati. Cinta, sebuah rasa yang bisa jadi bestie atau nemesis bagimu dan bagiku.
Lalu, pernahkah kamu mendengar kisah seorang yang begitu cinta pada putranya, hingga ia melakukan perbuatan yang dianggap paling keji sepanjang catatan umat manusia? Ia membalas pembunuhan atas putranya dengan menghabisi seluruh kaum dan keluarga pembunuh putranya tersebut dan meminum darahnya dan mengunyah dagingnya. Cintanya yang berlebih terbungkus dengan kemarahan dan dendam. Padahal ia dikenal sebagai seorang hafiz Quran di zamannya. Kejahatan yang sampai sekarang belum didengar tandingannya. Perbuatan yang ia lakukan atas nama cinta. Rasa cinta dan kesedihan yang mendalam, hingga berubah jadi kebencian yang membunuh akal dan kesehatan mentalnya. Membunuh rasa kasih sayang terhadap sesama.
Rasa cinta seperti apakah yang bisa berubah dengan begitu drastis, hingga bisa membutakan rasa kasih sayang? Pertanyaan yang bergema di hati bagi yang berakal saja. Pertanyaan yang tak bisa menembus hati yang telah menjadi batu. Mati. Hingga rintihan dan air mati tak lagi meraih dan mengetuknya. Padahal hati itu seharusnya dapat menetralisir rasa benci, detoksifikasi racun yang dapat merusak tubuh, seperti hepatosit yang selalu bisa meregenerasi diri. Memaafkan orang lain. Menciptakan harmoni dalam hidup.
Sayangnya, cinta pun kini telah bermutasi dalam bentuk yang berbeda. Sentuhan bakteri patogen yang menerobos ruh suci ini telah merusak rasa yang harusnya melahirkan kedamaian ini. Rasa ini telah tergerus kanker stadium empat yang bahkan dokter pun tak bisa mengobati. Penyakit cinta ini kian akut hingga tak mati, meski telah terkubur dalam cerita. Penyakit cinta ini terus meregenerasi, membentuk nama lain yang tak bisa diterka dan diobati, kecuali oleh orang-orang yang berusaha menyucikan diri dan bertaubat.
Bandarlampung, 24 Oktober 2019
Lalu, pernahkah kamu mendengar kisah seorang yang begitu cinta pada putranya, hingga ia melakukan perbuatan yang dianggap paling keji sepanjang catatan umat manusia? Ia membalas pembunuhan atas putranya dengan menghabisi seluruh kaum dan keluarga pembunuh putranya tersebut dan meminum darahnya dan mengunyah dagingnya. Cintanya yang berlebih terbungkus dengan kemarahan dan dendam. Padahal ia dikenal sebagai seorang hafiz Quran di zamannya. Kejahatan yang sampai sekarang belum didengar tandingannya. Perbuatan yang ia lakukan atas nama cinta. Rasa cinta dan kesedihan yang mendalam, hingga berubah jadi kebencian yang membunuh akal dan kesehatan mentalnya. Membunuh rasa kasih sayang terhadap sesama.
Rasa cinta seperti apakah yang bisa berubah dengan begitu drastis, hingga bisa membutakan rasa kasih sayang? Pertanyaan yang bergema di hati bagi yang berakal saja. Pertanyaan yang tak bisa menembus hati yang telah menjadi batu. Mati. Hingga rintihan dan air mati tak lagi meraih dan mengetuknya. Padahal hati itu seharusnya dapat menetralisir rasa benci, detoksifikasi racun yang dapat merusak tubuh, seperti hepatosit yang selalu bisa meregenerasi diri. Memaafkan orang lain. Menciptakan harmoni dalam hidup.
Sayangnya, cinta pun kini telah bermutasi dalam bentuk yang berbeda. Sentuhan bakteri patogen yang menerobos ruh suci ini telah merusak rasa yang harusnya melahirkan kedamaian ini. Rasa ini telah tergerus kanker stadium empat yang bahkan dokter pun tak bisa mengobati. Penyakit cinta ini kian akut hingga tak mati, meski telah terkubur dalam cerita. Penyakit cinta ini terus meregenerasi, membentuk nama lain yang tak bisa diterka dan diobati, kecuali oleh orang-orang yang berusaha menyucikan diri dan bertaubat.
Bandarlampung, 24 Oktober 2019
Jangan terbunuh karena cinta
BalasHapussemoga cinta itu hanya karena Allah ya Mbak
HapusMencinta juga jangan terlalu berlebihan, sewajarnya saja
BalasHapusSetuju sm mba maria dan mba yoharisna
BalasHapuscinta sering membius
BalasHapusSetuju mb Maria cinta sewajarnya ,agar kita tak terjerat olehnya
BalasHapus