Bunga di Musim Kemarau Part 5 (Ending)
Penyesalan itu pun bagai abu yang beterbangan menutupi matamu
Waktu tak bisa kembali meski air mata jatuh dan mengering di bulan Oktober
Waktu tak bisa kembali meski air mata jatuh dan mengering di bulan Oktober
Rombongan kecil itu bergerak perlahan mengiringi keranda jenazah yang diangkut Ranu, Rama, Pirman, dan Satria. Kyai Irfan dan ustadz Zaki, sahabat Hara ikut mengiringi. Bergantian mengangkat keranda jenazah. Puluhan santri yang mengenal Hara pun ikut mengantar ke peristirahatan abadinya. Sementara Amy, Ana, umi Naqi, umi Heni, dan beberapa ibu-ibu pengajian berjalan di belakang mengikuti iringan pengantar jenazah. Alunan nama Allah memenuhi udara. Rintik gerimis pun ikut berdoa buat almarhum. Angin pun tenang seolah membisikkan kehilangan yang menyesakkan. Sebagaimana daun menundukkan rasa belasungkawa pada para peziarah.
Saat para pelayat telah membumikan jenazah, menyisakan keluarga dan sahabat - sahabat Hara yang menunduk. Menatap gundukan tanah merah, persinggahan akhir Hara. Amy berulang kali mengusap ujung matanya, menatap dengan hati tak menentu ke arah dua gundukan tanah merah yang berdekatan. Yada dan Hara. Baru dua hari lalu Yada dikuburkan, dan kini Hara menemaninya. Meninggal dengan cara yang sama. Dibunuh oleh orang yang sampai saat ini belum diketahui.
"Hara..Hara.., kenapa kamu meninggalkan ibu, Nak?" Suara lirih seorang ibu membuyarkan lamunan Amy. Ibu Poniyem, ibu kandung Hara. Bu Poniyem berusaha bangun dari kursi rodanya. Reflek, Amy dan Pirman membantunya duduk di samping pusara Hara. Dengan hati - hati mereka memegang lengan bu Poniyem yang lemah. Beberapa saat ia hampir terjatuh. Untunglah, Pirman menahan tubuh bu Poniyem yang lunglai. Pingsan.
"Pirman, Rama, dan Amy antar bu Poniyem pulang ke rumahnya." Kyai Irfan memegang tangan Pirman. Menepuk bahunya. Menyerahkan kunci mobil ke tangan Rama yang menganggukkan kepalanya. Mengerti. "Nanti kami menyusul setelah menyiapkan pengajian untuk nanti malam."
"Umi ikut." Umi Naqi berjalan mendekati Amy. Mata umi Naqi berkaca - kaca melihat keadaan bu Poniyem, sepupunya yang menderita struk sejak sepuluh tahun silam. Amy merasa pandangannya mengabur. Perlahan ia memeluk umi Naqi. Mereka menangis dalam diam.
Amy merasa dingin yang mendalam saat mobil kak Rama memasuki pekarangan rumah kak Hara. Tengkuknya dingin. Tangannya gemetar. Degup jantungnya berdetak keras.
"Kita sampai, "kata kak Pirman. Ia menoleh ke arahnya. Wajah Pirman yang biasa cerah, kini pucat dan lelah. Amy bisa merasakan kesedihan kak Pirman karena kehilangan sahabatnya. Pirman tersenyum sedih. "Kak Pirman belum pernah ke rumah Hara. Tapi, kakak tak menyangka harus ke rumahnya untuk mengantar ibunya yang pingsan di kuburan di hari Hara dimakamkan." Amy hanya diam. Tak tahu apa yang bisa ia katakan. Lidahnya kelu. Lalu, ia memandang ke arah Rama yang dengan hati - hati mengangkat tubuh lemah bu Poniyem yang masih belum sadarkan diri. Umi Naqi sibuk merapikan selimut, menutupi tubuh sepupunya. Perlahan mereka berjalan menuju pintu gerbang rumah Hara yang besar. Rumah yang bagi Amy terasa dingin dan kosong. Hingga ia mengerti kenapa Hara lebih suka tinggal di mushala bersama kyai Irfan.
Pintu rumah Hara terbuka, seorang wanita tua tergopoh - gopoh menyambut mereka. Wajahnya begitu cemas. Amy mengenal wanita ini sebagai perawat bu Poniyem. Ia mengajak mereka memasuki rumah, dan masuk ke kamar bu Poniyem yang terletak di tengah rumah. Kamar yang besar. Bahkan lebih besar dari rumah Amy. Matanya menatap potret besar di kamar itu. Potret keluarga Hara. Amy mendesah, merasakan dingin yang merambat di tangan dan tengkuknya. Ia menoleh. Mendapati matanya bertemu dengan mata merah yang selalu menghantuinya.
"Sedang apa kalian di sini?! Pergi! Sebelum kuseret kalian semua!!" Mata merah itu membentak. Tanpa sadar, Amy mundur ke belakang. Menghindari tatapan mata menakutkan itu. Rama dengan tenang berdiri di depan Amy. Menunduk hormat. Tangan kanan Rama diletakkan di dadanya.
"Maaf pak, saya Rama. Saya bersama Pirman mengantar istri bapak yang pingsan di pemakaman." Rama memperkenalkan diri. "Saya ke sini bersama Amy dan umi Naqi untuk.."
"Saya tak peduli dengan urusan kalian!" Potongnya sambil menunjuk pintu kamar. "Keluar!"
"Mas, kami baru saja menguburkan Hara.." kata umi Naqi sambil mengusap ujung matanya.
"A-apa?" Suara mata merah itu bergetar. Amy sekilas melihat ketakutan dan penyesalan di mata itu.
"Ya, mas Toni.. Hara meninggal. Ia dikuburkan hari ini." Umi Naqi berkata lirih. "Mbak Poniyem pingsan di pemakaman Hara tadi."
"Kenapa? Apa yang terjadi? Bukankah lukanya tidak parah?"
Pak Toni yang memiliki mata merah itu berbisik lirih. Tapi, semua yang ada di ruangan itu dapat mendengarnya. Amy juga dapat merasakan pandangan mata Rama dan Pirman yang melekat ke wajah pak Toni. Rama menghembuskan nafasnya. Ia memegang lengan Pirman yang sudah menegang. Umi Naqi menutup mulutnya. Menatap tak percaya pada suami sepupunya yang kini berlutut di lantai. Menangis tersedu - sedu. Menyesali yang tak mungkin kembali.
(The End)
Komentar
Posting Komentar