Ulasan Novel Olenka karya Budi Darma
Dalam Olenka, kita memasuki dunia ajaib yang diberikan oleh bahasa (Seno Gumira Ajidarma)
Kehidupan itu terkadang berpusat pada satu tokoh penting yang kalau dalam cerita di sebut pemeran utama. Sebagaimana bumi mengitari matahari. Sebagaimana matamu mencari sosok di mana hatimu tertambat pada satu orang. Sulit berpaling. Dan, saat orang itu berpaling hingga alam memintamu untuk mencari gantinya, hatimu tetap mencarinya.
Begitu pun kisah Olenka yang jadi sumbu cerita antara tokoh - tokoh lain di cerita ini. Antara Wayne dan Fanton Drummond. Kisah yang menurut penulisnya diselesaikan kurang dari tiga minggu.
Novel yang menggambarkan proses perjalanan tanpa henti dari tokoh Fanton yang memuja Olenka seperti dalam kata - kata yang ia ucapkan,
"Kadang - kadang saya ingin memperlakukan tubuhnya seperti sebuah peta. Kalau dapat melakukannya demikian, saya akan menggulungnya, kemudian membukanya di atas ranjang, atau di atas meja, atau di atas lantai, atau di atas rerumputan. Kalau perlu saya dapat menggantungkannya di dinding, kemudian menuding - nuding bagian - bagian rubuhnya bagaikan seorang guru ilmu bumi menuding kata - kata di atas peta. Saya akan menelusur jalan yang menghubungkan satu kota dengan kota lain, satu danau dengan danau lain, satu bukit dengan bukit lain, satu hutan dengan hutan lain, satu dataran rendah dengan dataran rendah lain, kemudian berseru, " Hai, inilah jalan menuju surga!"
Novel yang terdiri dari tujuh bagian yang kemudian terbagi lagi dalam 49 judul cerita yang urutannya sedikit tumpang tindih. Berbeda. Hingga akan kita temukan nomor cerita yang sama dengan cerita yang berbeda.
Sedikit membingungkan. Tapi, tidak merubah essensi dari cerita ini. Dalam pemikiran saya, Olenka ini memberi kebebasan buat kita membuka gerbang pemikiran akan semesta tanpa menggurui atau menilai.
Kegelisahan atas pencarian diri ini terefleksi dalam ucapan Madame Sosostris,
"What should I do now? What shall I do?
I shall rush out as I am, and walk the street
With my hair down, so. What shall we do tomorrow?
What shall we ever do?"
"Mau apakah saya sekarang? Mau apa? Saya akan melejang keluar seperti ini dan menelusur jalan, dengan rambut menggelantung begini. Mau apa kita besok pagi? Mau apa kita selamanya?"
Seperti yang disampaikan oleh penulisnya, Olenka bisa jadi dianggap sebagai digresi. Digresi yang penulis lakukan secara nalar intelektual dan emosional yang terjadi bahwa tak ada sesuatu yang murni lurus.
Digresi yang dalam istilah sastra berarti penceritaan yang menyimpang atau tidak relevan.
"Sejak lahir, Steven sudah membenci saya. Setiap kali didekatkan saya dia memberontak. Saya juga membencinya. Kecuali itu, ketika dia lahir saya sedang sakit.." (hal. 179)
Kata - kata curahan hati Olenka pada Fanton Drummon ini membuatku berpikir. Kalaulah bukan karena 'digresi' atas pemikiran penulisnya, sosok Olenka tidak akan membingungkanku. Terasa ada benang yang terputus. Benang yang disebut penulisnya sebagai kreativitas.
Novel Olenka yang padat dengan pergolakan jiwa dan kritik sosial pada diri dan sekitarnya ini bagus dibaca buat pecinta kata. Membuatmu mengerti, kesempurnaan itu di dunia ini tak ada kecuali Tuhan.
"Tuhanku, dalam termangu, aku ingin menyebut nama-Mu." (hal. 237, kutipan puisi Chairil Anwar "Doa: Kepada Pemilik Teguh")
So, buat kamu yang suka dengan karya yang penuh dengan kritik sosial yang berasal dari refleksi dan percakapan pada diri sendiri yang jujur dan tanpa batas tanpa menggurui orang lain, buku Olenka ini bisa dijadikan referensi bacaan yang menggugah perubahan. Okey, happy reading ya gaes!
Bandarlampung, 30 November 2019
wah ... baru dengar digresi nih. Makasih, Mbk. Ilmu baru hehehe
BalasHapusNovelnya bikin mikir berat ga mba?hihihi
BalasHapus