Dora Emon di Nanjing
Dora
Emon di Nanjing
“Aku
tak suka perang,” kata Nobita.
“Aku
juga,” sahut Dora Emon sambil memeluk bantalnya erat. “Aku takut mati.”
“Aku
lebih suka kita berteman saja,” LIep
Nio mengangguk sambil makan bakso buatan toko
nyonya Damaisan. Tapi, ledakan meriam yang terdengar dari radio yang dihidupkan
Tuan Tanaka membuat bakso yang akan dikunyahnya tertelan bulat-bulat. Ia
tersedak. Nobita dan Dora Emon menepuk-nepuk punggungnya.
“Ayah
akan berangkat ke Nanjing,” kata Nobisuko Nobi yang lengkap memakai baju chef.
Doraemon, Nobita dan Liep Nio melongo melihat penampilan ayah Nobita.
“Ayah
kan takut darah,” kata Nobita yang langsung memegang kaki ayahnya. Mencegahnya
pergi.
“Tapi
semua orang ikut berperang membela negara.” Wajah Nobisuko tegang. Ia telah
menetapkan keputusannya. Tak peduli dengan Nobita dan Tamako, istrinya yang
menangis mengiringi langkahnya menuju pintu keluar rumah.
Sebuah mobil tentara
Jepang telah menunggunya. Dengan bangga ia masuk ke dalam mobil yang melaju
meninggalkan rumahnya. Meninggalkan Nobita dan Tamako yang berpelukan menahan
kesedihan dan kekhawatiran akan nasib Nobisuko yang bahkan tak pernah melihat
orang berkelahi di jalan. Sekarang, Nobisuko harus ada di tengah pertempuran
sengit di Nanjing.
“Kalian
bisa ikut aku ke Nanjing,” kata Liep Nio. “Ayahku kan teman dekat paman Chang
Tso lin.”
“Paman
Chang Tsolin bisa bantu kita?” Doraemon memandang Liep Nio dengan khawatir.
Liep
Nio mengangkat bahu. “Aku tidak tahu. Tapi kata ayahku, Paman punya kekuasaan
besar di militer.”
“Baiklah,
kita siap-siap berangkat,” kata Tamako yang sudah pucat pasi. “Ibu siapkan
bekal dulu. Kalian bersiap-siap.”
“Baik,
aku telpon ayah bahwa aku akan pulang ke Shanghai bersama kalian.” Liep Nio
mengambil telpon dari saku Cheongsam yang ia kenakan.
“Kata
ayah, kalian harus menyamar jadi orang Cina, agar mudah membaur di Shanghai.”
“Terserah
saja, yang penting kita dapat menyelamatkan ayah Nobita,” jawab Doraemon.
“Kita
juga dapat menggunakan pintu kemana saja milik Doraemon,” kata Nobita.
“Tidak
bisa,” protes Doraemon.
“Kenapa?”
Nobita menatap Doraemon dengan sedih.
“Aku
takut kita malah akan muncul di tengah pettempuran di Nanjing,” jelas Doraemon.
“Tidak
mungkin. Kamu kan selalu bisa membawa kita ke tempat aman.” Nobita berkeras.
“Baiklah.”
Doraemon menurut. “Tapi kita harus berhati-hati.”
“Ya,
sebelum ke Nanjing, kita dengarkan berita dulu.” Tamako menyetel radio.
Hari ini, 13 Desember 1937 telah
terjadi pertempuran dahsyat di Nanjing yang menelan korban sekitar 200.000 orang.
Pemerintah China menyatakan perang terhadap Jepang.
Tamako
gemetar. Ia langsung mematikan radio. Wajahnya pucat pasi. Liep Nio memberikan
segelas air putih padanya.
“Bibi
tenanglah, saya sudah telpon ayah di Shanghai. Ia sudah menghubungi paman
Chang.”
Liep
duduk di samping Tamako, berusaha menenangkannya.
“Kita
berangkat sekarang.” Tamako menatap Doraemon yang mengangguk. Mereka semua
berpegangan tangan dengan erat. Bersiap menuju dimensi dunia lain agar dapat
menolong ayah Nobita.
***
“Kita
apakan tawanan ini?” Zhu De, komandan Rute 8 mengarahkan moncong senapannya ketiga
tawanan yang baru saja mereka tangkap.
“Mereka
mata-mata.” Lin Biao memandang tawanannya dengan kebencian.
“Bukan,
kami bukan mata-mata,” protes Nobita yang ketakutan. Ia sudah kencing di
celana. “Kami hanya ingin membawa ayahku pulang.” Nobita juga tak mengerti
bahasa Cina yang digunakan oleh Zhu De.
“Orang
Jepang tak bisa dipercaya!” Zhu De meludah ke tanah. “Kita harus membalas
perbuatan Jepang yang telah membantai warga kita di Nanjing!”
“Aku
sudah punya rencana untuk membalas!” Mata Lin Biao menatap tajam ke arah
tawanannya.
“Tapi
di mana Liep?” Nobita berbisik pada Doraemon yang gemetaran karena laras
senapan mengarah di atas kepalanya. Lalu, mata Nobita melihat seorang pelayan
membawa baki minuman dan meletakkannya di meja di dekat Zhu De duduk. Pelayan
itu mengedipkan matanya ke arah Nobita.
***
***
Bandarlampung,
31 Desember 2019
Komentar
Posting Komentar