Review The Bonesetter's Daughter karya Amy Tan


Novel setebal 383 halaman ini membuatku teringat akan ungkapan lama, "Kata-kata buruk itu tidak mematahkan tulangmu, atau menggores kulitmu, tapi membunuhmu perlahan-lahan". Ya, buku yang banyak berbicara tentang kehidupan keluarga keturunan Cina yang hidup di Amerika untuk mengubah nasib ini sarat dengan penyesalan, kesedihan dan kemarahan karena kata-kata yang diucapkan dan tidak diucapkan. 

Kata -kata yang berdasar atas kepercayaan dan pemahaman keluarga Cina yang meski sudah membaur dan beradaptasi dengan budaya Amerika, tetapi tetap membawa budaya dan kepercayaannya, seperti: kepercayaan pada hantu, tahyul, dan nasib buruk yang disebabkan perbuatan masa lalu.

Novel yang sarat dengan pesan tentang hidup yang dituturkan oleh LuLing Young dan Ruth Young dengan keluguan seorang pencerita yang seakan baru mengenal dunia baru. Dunia yang berbeda dari desanya di Jantung Abadi.

Pesan bahwa dalam hidup ini kebahagiaan itu bukanlah dari kebencian, ketamakan akan harta, atau keindahan paras, tapi rasa maaf dan penerimaan akan hidup yang dijalani. Seperti apa pun hidup ini membawa kita.

Membaca novel ini membuatku membandingkannya dengan kebiasaan orang Jawa yang erat dengan larangan dan taboo. Kata-kata yang biasa diucapkan orang tua agar anak-anak patuh pada orang tua yang diturunkan dari generasi ke generasi. Bahkan stigma-stigma terhadap wanita yang mungkin agak mirip dengan budaya Indonesia, mengingat hubungan erat budaya Cina dan Indonesia sejak berabad lalu.

Ruth Young yang seorang Ghost writer keturunan Cina dan tinggal di Amerika sejak 46 tahun lalu. Ia hidup bersama pasangan serumahnya Artie, berserta Dory dan Fia, anak-anak dari pernikahan Artie sebelumnya. 

Sebelumnya Ruth pernah menjalin hubungan dengan pria lain, tapi gagal karena pria itu menganggal Ruth terlalu serius dan suka membesar-besarkan masalah. Kebiasaan yang Ruth alami sejak mengurus ibunya yang selalu rewel dan khawatir. 

LuLing, ibu Ruth adalah imigran Cina yang tak lancar bahasa Inggris, hingga sejak kecil Ruth sudah terbiasa menjadi Mrs. Young, menggantikan ibunya menerima telpon, membayar tagihan, dan membayar pajak. Bahkan, Ruth membuat surat untuk sekolahnya atas nama ibunya.

Saat Ruth menyadari bahwa ibunya mengalami Alzheimer, ia menyadari bahwa LuLing membutuhkan dirinya yang terlalu sibuk mencari uang. Ruth, akhirnya mengetahui banyak rahasia masa lalu LuLing, ibunya yang tersembunyi di balik sebuah foto yang disimpannya selama ini. Rahasia yang menyadarkan Ruth bahwa LuLing sangat mencintainya.

Rahasia LuLing yang dibaca Ruth adalah tentang Bibi Tersayang yang ternyata adalah neneknya. Bibi Tersayang, mukanya cacat dan tak bisa bicara karena kebakaran hingga harus menanggung hinaan semua orang, termasuk dari Nenek Buyut. 

Bibi Tersayang, merawat dan membesarkan LuLing, ibu Ruth dengan kasih sayang dan mengajarkan membaca dan menulis kaligrafi Cina. Keahlian yang menjadi mata pencarian LuLing untuk menghidupi Ruth di Amerika, tapi tak diwarisi Ruth yang lebih suka belajar bahasa Inggris. Bibi Tersayang, putri Tabib tulang ternama di desanya.  Tabib Tulang yang begitu menyayangi putrinya karena dia satu-satunya pewaris yang masih hidup. 

Bibi Tersayang yang mewarisi keahlian Tabib Tulang karena ayahnya lebih tahan menghadapi teriakan kesakitan pasiennya daripada tangisan Bibi Tersayang. Jadilah Bibi Tersayang, seorang anak perempuan yang dapat membantu Tabib Tulang mengobati pasiennya, baik laki-laki, perempuan, anak-anak. 

Keahlian yang membuat penduduk desa membencinya, karena dia berbeda dari wanita desa lainnya. Bibi Tersayang dianggap kutukan. Kebencian orang-orang makin bertambah saat tubuh dan wajah Bibi Tersayang tebakar. Wajah Bibi Tersayang cacat, hingga Nenek Buyut berkata,

"Lebih baik daripada berambut putih dan berwajah gosong," dan semua orang tertawa, walaupun BIbi Tersayang ada di ruangan itu.


Membaca ini, aku pun merasa sedih, teringat bulliying yang bahkan terjadi di tengah keluarga, teman atau orang terdekat kita tanpa disadari, Kata-kata buruk, panggilan buruk yang mungkin dilontarkan tanpa maksud buruk, ternyata adalah kata-kata yang kejam.

"Kami semua memanggilnya Bao Mu," sambung GaoLing,"juga banyak nama julukan lain karena keadaan wajahnya. Kayu Hangus, Mulut Goreng, semacam itu. Orang-orang tidak bermaksud jahat, julukan itu hanya untuk bercanda... Yah, sekarang kalau kupikir-pikir, nama-nama itu kejam, sangat kejam. Itu tak pantas." (hal. 263)

Sayangnya, bercanda dengan memanggil menggunakan nama julukan 'buruk' dianggap hal yang biasa dalam pergaulan. Padahal kata-kata buruk itu, meskipun tak bermaksud buruk, tetaplah menyakitkan hati. Kata-kata yang mungkin dapat dimaafkan, tapi tak bisa dilupakan.

Perbandingan lain yang mungkin tak jauh berbeda dengan budaya di Indonesia yang mungkin bisa kita baca di novel ini adalah nasihat-nasihat orang tua pada anak gadis agar dia dianggap gadis yang baik, manis, dan patuh. Terikat akan aturan-aturan yang jika dilanggar dianggap akan mendatangkan masalah.

"makanlah sedikit dari setiap masakan untuk menunjukkan kau bukan orang yang cerewet, tapi jangan rakus. Biarkan lainnya dilayani dulu dan bersikaplah seolah kau paling tidak penting."(hal. 214)

Pandangan yang didobrak oleh tokoh Bibi Tersayang yang mampu belajar, bertahan, dan hidup untuk keyakinan dan alasannya sendiri. Seorang wanita yang tangguh hingga dapat melawan takdir meski harus mati bunuh diri karena dia tak ingin jadi beban bagi LuLing, putri yang sangat ia cintai.

Dalam pemahamannya, akhirnya Ruth mengerti tentang hidup. Mengajak kita menghargai dan mencintai orang-orang di sekitar kita.

Mereka tahu letak kebahagiaan, bukan di dalam gua atau di suatu negara, tapi di dalam cinta dan kebebasan untuk memberi dan mengambil apa yang sudah lama tersedia.(hal. 383)

Bandarlampung, 18 Desember 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Bullying dan Pencegahan Bullying di Lingkungan Sekolah

Keseruan Kunjungan Industri Jakarta Jogja SMK BLK Bandar Lampung 2022

PERSEPOLIS COMIC REVIEW: The Story of Childhood