Duh, Karena Corona Aku Nggak Bisa Sekolah
Aku masih ingat sambutan bahagia para awal informasi belajar di rumah
yang disampaikan pada para peserta didik di pertengahan bulan Maret 17 Maret
-29 Maret 2020, karena isu corona yang mulai merebak. Mereka begitu
bersemangat. Bahkan ada yang nyeletuk agar sekolah diliburkan lebih lama lagi.
Hal yang jadi kenyataan hari ini. Kenyataan yang jadi keluhan bagi mereka,
karena belajar di rumah berlanjut hingga tanggal 26 April 2020.
Bagaimana tidak? Peserta didik di semester ini tanpa isu Corona pun
banyak menghadapi libur karena jadwal ujian kelas XII yang padat merayap. Sebut
saja Ujian Sekolah, LUN, Ujian Kompetensi, dan UN. Bisa dibilang di semester
genap ini minggu efektif hanya sekitar dua setengah bulan. Sisanya belajar di
rumah.
Meski solusi belajar via daring sudah dicanangkan sejak awal, para
peserta didik mengeluh akan optmalisasi belajar yang mereka lakukan di rumah.
Beberapa masalah yang mereka hadapi adalah kurangnya sarana untuk
melakukan pembelajaran daring. "Gimana lho, Bu? Kami kan nggak dapat uang
jajan. Gimana mau beli kuota? Orang tua juga pendapatannya menurun gara-gara
korona."
Masalah serupa juga menimpa para guru yang kesulitan memfasilitasi
peserta didik karena fasilitas yang belum mendukung. Baru beberapa guru yang
punya kompetensi untuk memfasilitasi peserta didik melalui daring.
Pembelajaran daring yang kulihat dilakukan para guru hanyalah sekedar
memberi tugas yang menurutku kurang masuk akal, karena peserta didik belum
menerima pembelajaran sebelumnya. Alhasil, para orang tua sibuk mengajar
anak-anaknya belajar di rumah. Sementara para guru pun sibuk mengajar
anak-anaknya belajar di rumah.
Nah, itu kalau orang tuanya bisa menemani anak-anaknya belajar di rumah,
anak-anak bisa tenang. Kalau nggak? Ya, mereka akan berada dalam
kebingungan dan kebosanan. Beberapa anak bahkan dengan manisnya bisa
jalan-jalan di laut. Ironis, kan?
Seorang siswa, sebut saja namanya Eli mengatakan tentang sulitnya mengerjakan
tugas dari para guru, "Dijelaskan aja belum tentu ngerti, Bu. Apalagi ini
langsung dikasih tugas. Enak bener gurunya kayak kita ini pinter semua
aja."
Keluhan yang membuatku miris mengingat input peserta didik di sekolahku
memang masih kelas pasar tempel, tapi sebagian guru ngasih tugasnya sekelas
'Mal". Jadi nggak match. Ibarat pasar perlunya tukang las, kita nawarinnya
tukang masak. Belum link and match.
Padahal untuk SMK, menurutku sih nggak harus pinter, yang penting punya
keahlian dan bisa kerja. Mandiri. Misi yang seharusnya disadari oleh semua
guru.
Ada juga guru yang kasih tugas mencatat di buku. Eh, trus aku itu mikir,
buat apa lho dicatat ulang. Kan, udah ada gawai yang canggih. Kenapa kita masih
ngasih tugas kayak zaman batu. Catat buku sampai habis. Heran aku. Lebih herannya,
guru itu mengajar TIK. Terlepas apapun alasannya.
Guru yang lain kirim tugas dengan mengirim SS (screen shot) dari
internet yang harus dicatat ulang oleh siswa. Jidatku berkerut melihat
tugasnya. Aneh, ngapain anak-anak nulis
yang mereka aja belum ngerti. Padahal kan seharusnya ngasih tugas itu yang
berarti dan bisa dikerjakan siswa. Ya, kan?
Lalu sambil menulis ini pun, aku mengintrospeksi diriku. Apakah aku guru
yang lebih buruk atau lebih baik? Sambil mengingat-ingat, aku mencatat dilemma mengajar
online yang biasa dihadapi baik oleh guru maupun oleh siswa.
Dilema mengajar online saat
merebaknya issu Corona
1. Dari sudut pandang guru
-
Kesiapan guru
dalam mengajar online yang terkait dengan kompetensi professional dan pedagogic.
Kompetensi yang terintegrasi dengan kemampuan guru berinteraksi dengan siswa
dan mengintegrasinya dengan teknologi.
- Kemauan guru dalam mengajar. Jujur
aja, guru pun harus diawasi agar masuk kelas dan mengajar. Jangankan mengajar
online yang pengawasannya bisa terbilang sulit, mengajar offline aja sulit
diawasi. Hasilnya, banyak orang tua murid yang kebingungan karena anak-anaknya
tidak punya tugas dari gurunya.
- Ketersediaan fasilitas. Nah, yang
ini menurutku adalah masalah yang sangat krusial dalam mengajar daring. Gimana
nggak, beberapa guru masih ada yang belum bisa menggunakan gawai atau kuota
yang limited. Hingga menghambat proses pembelajaran daring.
2. Dari sudut pandang siswa
-
Kemauan
siswa belajar.
Gaes, patut diketahui untuk SMK tempatku mengajar itu
adalah sekolah yang inputnya adalah anak ‘singkong’. Anak yang lebih senang
singkong rebus dibanding singkong keju. Artinya, anak-anak ini cara pikirnya
sangat sederhana. Sekolah, lulus, dapat ijazah dan kerja. Belajar itu ya di
bengkel. Belajar di kelas itu membosankan. Jadi kebayang kan? Gimana mereka
bisa belajar daring. Aku sendiri sih, hanya bisa urut dada sambil senyum-senyum
sendiri. Lha wong, aku sering masuk di kelas, dan seisi kelas sedang tidur di
atas meja dengan manisnya. Mereka tidak mempedulikan aku. Alasannya, kelelahan
karena habis praktek di bengkel.
-
Ketersediaan
sarana
Nah, ini pun masalah yang sangat krusial bagi siswa. Aku
tahu sendiri bahwa mereka itu pegang uang jajan karena mereka pergi ke sekolah.
Kalau libur, mereka zonk. Jadi, gimana mau mengerjakan tugas daring yang perlu
modal kuota yang harus mereka beli? Oleh sebab itu, mereka sering bertanya
padaku. “Kapan sekolah lagi, Bu? Bosen belajar online kok gini!”
So, bisa kubilang bahwa belajar di rumah itu seharusnya bisa
menyenangkan. Sayangnya, kesiapan guru dan sekolah untuk menjembatani ruang
yang ada belum dapat menjawab keinginan siswa dalam proses pembelajarannya. Hal
yang bisa dijadikan bahan pertimbangan demi perbaikan proses pembelajaran
daring di kemudian hari. Terlepas dari isu Corona yang memaksa kita untuk siap
tidak siap memberlakukan sistem belajar daring yang seharusnya dapat menjawab
tantangan zaman yang competitive ini.
#dirumahaja
Bandarlampung, 5 April 2020
Komentar
Posting Komentar