Tips Guru Bertahan Selama Masa PJJ
Ruang kelas hening dan kosong. Nggak ada suara ribut atau teriakan siswa berkejaran karena ingin lekas pulang saat bel berbunyi. Di ruang kelas, hanya ada bangku dan meja nggak bernapas yang menatapku kaku. Seolah menjerit kesepian dalam kebisuan.
Nggak ada tawa. Nggak ada canda. Hanya layar gawai dan komputer yang jadi penghubung pembelajaran. Bahkan upacara pun kami menghormat gawai atau layar komputer. Sedih rasanya.
Tips Guru Bertahan Selama PJJ
Seorang temanku namanya Bu Retni mengeluh padaku. Ia bercerita tentang kesulitannya menggunakan applikasi google classroom. Ia merasa stress dan bingung.
Bu Retni juga merasa kesulitan karena peserta didiknya malas untuk ikut pembelajaran daring. Padahal bu Retni setiap hari mengingatkan mereka. Bahkan, bu Retni masih mengecek tugas peserta didik hingga malam hari. Bu Retni merasa kewalahan.
Selanjutnya, kami pun ngobrol. Mencari solusi masalah ini bersama. Tips agar guru bisa bertahan selama PJJ.
1. Upgrade skill
Cerita bu Retni bukan hanya dialami satu guru saja. Artinya, guru memiliki masalah yang sama, yaitu: belum teknologi savy. Skill yang wajib dimiliki semua tenaga profesional. Termasuk guru.
Saat ini, guru pun harus bisa membaca zaman. Guru wajib menguasai bukan hanya skill profesional mapel yang ia ampu, tapi juga skill penunjang. Skill yang dapat mempermudah guru dalam proses pembelajaran di kelas. Teknologi.
Seorang temanku yang lain, Melati, mampu berkomunikasi menggunakan teknologi dengan baik. Ia mampu membuat media pembelajaran lewat media youtube, canva, dan video. Skill yang mempermudah dirinya dalam proses pembelajaran di kelas daring. Channel youtube nya bahkan membantu kami dalam proses mengajar di google classroom.
2. Kolaborasi
Angin juga nggak terasa sama. Tersekat oleh masker yang kupakai. Tanganku pun rasanya makin kasar. Untungnya, jabat tangan dan cium tangan masih jadi kenangan. Kalau pun terpaksa dilakukan, aku langsung cuci tangan. Kasihan, siswa sudah menarik tanganku. Nggak tega aku menolaknya.
Kulihat temanku mengangguk padaku. Mengucapkan salam. Aku nggak mengenalnya hingga ia bicara, "Ada wali nungguin." Ia menunjuk dengan dagunya. Seorang wanita berkerudung dan bermasker hijau senada. Tapi, sumpah! Aku nggak kenal wanita itu. Aku jadi deg-degan.
Kolaborasi dengan Wali Membicarakan masalah dan Solusi pembelajaran Jarak Jauh
Wanita itu adalah orang tua Dimas. Siswaku yang hampir nggak pernah ikut pembelajaran daring. Aku mengundangnya untuk membicarakan masalah dan mencari solusi bagi Dimas.
Namanya ibu Nur. Ia ibu rumah tangga dengan tiga anak. Anak pertama bersekolah di SMK tempatku mengajar. Sedangkan anak kedua bersekolah di SMP, dan yang ketiga masih empat tahun.
Sebenarnya, jauh sebelum pandemi pun aku sering mengundang bu Nur. Menanyakan masalah Dimas yang malas belajar. Ia juga pernah ketahuan merokok di toilet sekolah. Bolos dari jam pembelajaran.
Dimas yang hadir saat itu, nggak bicara. Hanya menunduk. Ibunya menangis. Meminta padaku agar memberi kesempatan pada Dimas untuk terus bersekolah.
Hari ini pun begitu. Ibu Nur meminta bantuan padaku. Ia ingin Dimas dapat terus bersekolah. Ia berjanji, Dimas pasti akan berusaha ikut pembelajaran daring. Ia bilang, uang bantuan akan digunakan untuk membeli gawai buat Dimas belajar.
Tapi, janji tinggal janji. Bantuan sebesar satu juta rupiah sudah diberikan. Namun, Dimas masih belum ikut pembelajaran daring. Katanya, gawai nya nggak ada kuota.
Nah, aku pusing sekali dengan masalah Dimas ini. Aku pun diskusi dengan teman-teman untuk mendapatkan solusi terbaik. Aku menggandeng BK, bagian kurikulum, kesiswaan, dan kepala sekolah untuk membantu masalah Dimas.
Opsi dari kolaborasi kami adalah membimbing Dimas agar dapat melaksanakan pembelajaran daring di lab sekolah. Kami juga memantau perkembangan Dimas. Selain itu, kami meminta orang tua Dimas untuk membimbing Dimas selama belajar di rumah.
3. Berbagi
Pandemi yang
nggak tahu kapan berakhirnya mengakibatkan masalah di semua bidang. Termasuk dunia
pendidikan. Terutama pihak yang terlibat langsung di dalam proses pembelajaran,
yaitu: guru, siswa, dan wali murid.
Imbas terburuk
dari pendemi ini adalah makin terjun bebasnya semangat belajar siswa. Gimana nggak?
Guru hanya memberikan penugasan. Tanpa melakukan pembelajaran seperti biasa. Kalau
pun ada proses pembelajaran, itu dilakukan via zoom atau media lain yang nggak
bisa dijangkau semua peserta didik.
Memang sih,
bantuan kuota udah mulai digelontorkan. Sayangnya, belum semua peserta didik
telah menerimanya. Akibatnya, peserta didik merasa nggak diperhatikan.
Seolah itu
belum cukup, peserta didik masih dibebankan dengan penugasan yang kadang nggak
masuk akal. Aku sendiri melihat seorang teman guru ngasih tugas banyak ke
siswa. Padahal, aku aja nggak sanggup ngerjainnya.
Kebayang kan?
Gimana nasib anak-anak ini. Bahkan, selama hampir delapan bulan Pembelajaran
Jarak Jauh (PJJ) ini sebagian besar siswaku bekerja agar bisa membayar SPP
atau sekedar mengisi waktu.
Sementara itu, guru pun nggak.mau disalahkan. Guru merasa, tugas sudah berusaha mereka lakukan dengan semaksimal mungkin. Mereka juga telah berusaha meluangkan waktu tanpa batas dalam pelayanan siswa.
Seorang teman, Zaki namanya, sedang menjalani ppgdj. Ia seorang guru komputer yang biasa berkutat dengan teknologi rekayasa komputer. Tapi, ia masih merasa kesulitan dengan beban kerja dan stress yang ia hadapi.
Gimana dengan guru yang belum terbiasa dengan teknologi? Jangankan megang komputer, megang gawai aja masih sebatas kirim whatsapp. Sekarang dituntut untuk belajar dari awal dan langsung praktek.
Untunglah, kami sering melakukan forum berbagi saran dan ilmu. Tim IT sekolah juga telah dibentuk untuk membantu kami menyelesaikan masalah pembelajaran. Tim ini telah membuat applikasi SIMS (Sistem Informasi Manajemen Sekolah) yang terintegrasi dengan semua pihak yang terlibat di sekolah, seperti guru, siswa, wali murid, dan manajemen sekolah. Applikasi yang mempermudah pekerjaan guru dalam proses pembelajaran.
Komentar
Posting Komentar