3 Alasan Orang Indonesia Mudah Bahagia
Aku
menggeleng-gelengkan kepalaku melihat seorang temanku asyik nonton drakor. Padahal
saat itu masih suasana rapat. Alasannya, ia pusing mendengarkan bahasan rapat
yang menonton. Jadi katanya, daripada stress,
lebih baik nonton drakor yang bikin
rileks.
Pemikiran yang
disetujui oleh sebagian besar teman-temanku. Ternyata, saat rapat mereka juga sbuk
sendiri. Ada yang chat sama istri, pacar, atau mendengarkan music. Artinya, nggak ada yang mau cape-cape mikirin masalah yang
menurut mereka nggak ada habisnya.
Selanjutnya,
aku pun mengingat-ingat apa yang kulakukan saat aku bosan dalam rapat. Well,
aku pun melakukan hal yang sama. Meski nggak nonton drakor, aku sering melamun
saat rapat. Wah, rasanya jadi ingin merasa malu. Tapi kutahan aja, kan aku
nggak sendiri. Ya, kan?
Banyak orang
Indonesia yang sepertiku. Maksudku, orang Indonesia itu mudah sekali bahagia.
Bukankah apa pun yang terjadi, orang Indonesia selalu bilang “Masih untung”?
Hingga, aku mencoba mencatat 3 alasan
orang Indonesia mudah bahagia.
Harapanku
sederhana, aku ingin selalu ingat bahwa menjadi bahagia itu mudah. Sederhana. Bukankah masalah itu jika nggak bisa
diselesaikan, baiknya dihadapi dengan santai?
3 Alasan Orang Indonesia Mudah
Bahagia
Saat seseorang
mengalami kepuasan dalam hidupnya, ia akan menjadi bahagia. Menurut Seligman
(2002), semakin bahagia seseorang, ia akan kurang memperhatikan hal-hal negative
dalam hidupnya. Kepuasan hidup juga dapat mengurangi rasa ketidakberdayaan yang
mengakibatkan stress dan masalah emosional (Suldo & Huebner, 2004)
Standar kebahagiaan
yang nggak tinggi, menjadikan seseorang mudah merasakan kepuasan dalam
hidupnya. Nggak mudah stress. Apalagi sulit makan dan sulit tidur. Kebahagiaan yang
sederhana membuat orang nggak mudah diliputi ketidakberdayaan dalam hidup.
Seperti seorang
tetanggaku yang merupakan warga +62 sejak lahir, ia hampir nggak pernah
mengeluh. Meski makan seadanya, ia selalu tersenyum. Saat banyak masalah, ia
akan bilang, “Pasrahkan saja semua pada Tuhan, yang penting kita berusaha.”
Katanya, ia
merasa nyaman dengan keadaannya sekarang. Bersyukur dengan apa yang masih ia
miliki. Toh, ia nggak pernah merasa sendiri.
Orang Indonesia itu mudah Melupakan
Pernah lihat
orang Indonesia yang menangis berlebihan
saat jadi korban pencurian? Pasti pernah, ya? Namun, orang itu mungkin akan
memaafkan si pencuri saat tahu alasannya mencuri. Bahkan, orang itu akan bilang
dengan santai, “Lupakan aja.”
Bisa dibilang
orang Indonesia itu cukup pemaaf dan mudah melupakan, hingga kita mudah move
on. Nggak banyak orang Indonesia yang mencatat secara rinci tentang
apa yang ia alami selama hidupnya. Bahkan, kita selalu ingin melupakan kejadian buruk dalam hidup kita. Sesuai semboyan, "Lupakan yang buruk, ingat yang baik".
Aku bahkan
pernah menyaksikan seorang temanku yang ditipu oleh sahabatnya sendiri. Ia pun
masuk penjara selama satu tahun. Meski begitu, ia nggak menuntut sahabatnya
itu. Bahkan, ia masih mau menolong sahabatnya itu. Nggak pernah ada dendam di
hatinya.
Selanjutnya,
aku sangat menyadari orang Indonesia itu sangat emosional. Namun, mereka
berhati lembut. Semangat emosionalnya pun mudah dialihkan.
Sebagai ilustrasi,
aku ingat kasus Luna Maya, Porong, Munir, dan kasus-kasus lain yang terlupakan.
Orang Indonesia bisa melupakan semuanya. Seolah semuanya nggak pernah terjadi.
Orang Indonesia Hidup di Lingkungan
Tempat Tinggal yang Sama
Sebagian
orang Indonesia hidup dalam lingkungan yang sama. Maksudku, seorang guru akan
hidup di lingkungan guru. Begitu pun seorang buruh. Hingga, standar pembanding
kualitas hidup adalah sama. Hampir nggak ada persaingan dalam pencapaian hidup.
Tetanggaku,
seorang pemulung sampah yang hidup sehari-hari bergumul dengan sampah. Ia nggak
pernah main ke tetangga yang hidupnya lebih mapan. Apalagi ghibah untuk
memperhatikan penampilan orang lain. Nggak ada waktu.
Saat senggang,
ia sibuk menanam singkong atau tanaman lain. Aku juga memperhatikan saat ia
mendorong gerobaknya. Ia hanya focus melihat sampah.
Begitupun
teman-temanku yang lain, mereka selalu mencari lingkungan tempat tinggal yang
sesuai dengan dirinya. Nggak mau mencari masalah dengan tinggal di lingkungan
yang nggak aman bagi pertumbuhan anak-anaknya. Bahkan ada yang nggak keluar
rumah kecuali untuk bekerja atau sekedar belanja ke warung tetangga.
Hal ini
menjadikan standar kepuasan hidup menjadi lebih mudah dicapai. Aku juga sering
mendengar ucapan yang jadi motto kehidupan. “Bersyukurlah, maka rezekimu akan
ditambah.” Keyakinan yang jadi pemicu kebahagiaan.
Alam yang Indah dan Subur
Seperti
orang bilang, alam yang indah dan subur itu bikin orang hidup dengan santai. Orang-orang
yang tinggal di lingkungan yang indah akan cenderung mudah tersenyum dan
tertawa. Berbeda dengan orang yang tinggal di tanah yang tandus dan kering.
Kemudahan hidup
yang menyertai kehidupan di Indonesia ini menjadikan orang Indonesia merasa
nyaman. Ngapain repot-repot kerja banting tulang, kalau melempar kayu bisa jadi
tanaman. Meski, ungkapan ini pun harus dipertanyakan juga. Bukankah banyak
orang yang mati meski hidup di atas tumpukan padi?
Begitupun, nggak
terelakkan kalau alam yang indah dan subur milik bangsa Indonesia ini bikin
kita terlena. Sebagian dari kita lebih suka tidur nyenyak, membiarkan orang
lain memetik hasil dari hasil alam kita. Membiarkan diri kita rela jadi pelayan
di negeri sendiri, dan merasa puas dengan itu.
Sejarah telah
membuktikan bahwa orang-orang yang hidup di tanah yang tanpa sumber daya alam
akan lebih tangguh. Alam yang keras menjadikan mereka sulit tersenyum. Nggak mudah
bahagia. Mereka harus berjuang untuk makan.
Sementara
aku, sebagai orang Indonesia bisa merasakan mudahnya hidup di Indonesia. Seperti
temanku bilang, di belakang rumahnya ada sawah menghijau dan di depan rumahnya
ada laut membentang. Ia bisa dengan mudah memperoleh apa yang ia inginkan.
Bagi teman-temanku
yang tinggal di bedeng di perkotaan pun, aku nggak pernah lepas melihat senyum
atau mendengar tawa mereka. Meski hidup sulit, mereka selalu temukan alasan
buat tertawa. Bahagia. Paling tidak, mereka yakin, selalu ada tempat kembali
saat kondisi makin sulit. Desa yang indah dan subur.
Diskusi
Life satisfaction is defined as the
extent to which an individual cognitively assesses the quality of his life as a
whole (Huebnor, Valois, Paxton, &Drane, 2005; Sousa & Lyubormirsky,
2001). Cognitive assessment biasanya diambil
dari bagaimana seseorang menyukai hidup yang ia jalani. Ini dibandingkan dari
bagaimana seseorang seharusnya hidup (Oladipo, et al, 2013)
Berbeda dengan
negara Korea, misalnya, yang memiliki standar kepuasan hidup yang tinggi. Standar
kepuasan hidup orang Indonesia, menurut yang kuamati, adalah masih sekitar
urusan perut. Hingga, bikin orang Indonesia bahagia itu nggak sulit. Saat ia
kenyang, ia pasti sudah bisa tersenyum.
Orang Indonesia
juga, sebagian besar lebih suka jadi penonton. Nonton drakor bahagia. Nonton
acara kuliner juga bahagia. Bisa dibilang, orang Indonesia nggak suka hal-hal
yang bikin nggak bahagia.
Anyway, sebagai orang Indonesia kebanyakan, aku memahami bahwa nggak ada yang lebih buruk kecuali itu berlebihan. Merasa bahagia dan nyaman dengan keadaan diri adalah baik. Apalagi jika semangat kebahagiaan diri itu bisa meningkatkan kualitas kreativitas untuk saling berbagi kebahagiaan dengan sesama. Nggak dorman, dan menerima segalanya. Menunggu orang lain merubah segalanya untuk kita.
Komentar
Posting Komentar