Belajar Tatap Muka Saat Pandemi: Sebuah Harapan dan Ketakutan
Malam sudah larut. Tapi seorang siswa mengirimku pesan lewat wa. Ia menanyakan tentang rencana belajar tahun depan. Tahun depan yang tinggal hitungan jam. Ia bingung apakah sekolah akan mulai tanggal 4 Januari nanti.
Namun, bukan siswa saja yang bingung. Aku pun yang sebagai
guru bingung. Apalagi dengan kasus Corona yang belum mereda. Kepala sekolah
juga nggak berani memutuskan. Mengingat peraturan walikota belum mengijinkan
sekolah buka jika nggak ada ijin dari wali murid. Ijin yang juga diberikan
orang tua dengan setengah hati.
Jujur aja sih, anak-anak sudah kangen berat untuk belajar
tatap muka seperti biasa. Namun, belajar tatap muka saat pandemi pasti
mengisahkan sebuah harapan dan ketakutan bagi siswa dan orang tua. Rasa yang
bikin mereka nggak nyaman untuk belajar di sekolah.
Kenapa kubilang nggak nyaman? Ya, gitu. Manusia kan secara
nggak sadar lebih punya defence mechanism
untuk melindungi diri dari rasa sakit. Secara otomatis, alam bawah sadar menyebabkan kita menghindari apa pun yang berpotensi menyakiti atau membuat
nggak nyaman.
Sayangnya, ada juga yang nggak bisa berlindung dari rasa
nggak nyaman ini. Mereka harus berjuang melawannya karena berbagai alasan. Salah
satunya alasan perut, kesejahteraan orang lain, dan keselamatan orang banyak. Apalagi
jika itu menyangkut tugas masa depan negara, seperti; dokter, guru, pegawai
asn, polisi, tentara, atau petugas penting negara.
Harapan Siswa untuk
Segera Belajar Tatap Muka
Sebagai salah satu guru SMK swasta yang tetap masuk sekolah
meski nggak ngajar di ruang kelas nyata, aku mengerti. Aku merasakan banget
capeknya mengingatkan anak untuk belajar di Google Classroom. Kelas yang lebih
sering dicuekin anak yang lebih suka main game.
Belum lagi menghubungi orang tua satu persatu untuk
mengingatkan anak masuk kelas dan belajar. Pasti, orang tua juga capek dan kesal.
Ditambah beban financial karena tetap harus membayar spp. Padahal anaknya
belajar di rumah.
Sementara, anak-anak SMK yang memang nggak suka belajar manis
di kelas, lebih suka tidur atau kerja. Ya, kerja yang menghasilkan uang.
Beberapa siswaku ada yang jadi kenek
bangunan, sopir truk, atau montir di
bengkel. Mereka nggak mau mengerjakan tugas di Google classroom. Buat apa, kata mereka? Nambah bebel aja, keluh mereka.
Anak-anak bilang, mereka
bosan belajar seperti ini. Mereka nggak ngerti dengan materi pembelajaran. Selain
capek diomelin karena minta uang buat beli kuota.
Apalagi buat siswaku yang sebagian besar tinggal di kabupaten
Lampung Selatan. Way Galih, Sabahbalau dan sekitarnya. Mereka kesulitan dengan
akses jaringan internet.
Mereka harus naik pohon atau naik motor ke arah kota
Bandarlampung untuk dapat sinyal. Sungguh melelahkan. Sialnya, saat mereka bisa
buka Google Classroom, mereka nggak tahu cara menuntaskan tugas mereka. Bikin mereka
nggak semangat belajar.
Ah, aku jadi ingat dengan ucapan Kadis Perpustakaan Daerah Lampung bahwa ada 700 desa di Lampung yang punya masalah internet. Ironi banget.
Padahal jarak Bandarlampung dan beberapa desa itu nggak jauh. Seperti desa Way Galih nggak sampai 4 kilometer dari kota Bandarlampung. Bisa ditempuh kurang dari 30 menit dengan
naik motor. Tapi sinyal sering menghilang.
Siswa-siswa sering datang ke sekolah menemuiku. Menanyakan kapan
sekolah tatap muka. Mereka khawatir dengan program PKL (Praktik Kerja Lapangan) yang wajib mereka lakukan di kelas XI.
Program yang jadi syarat kelulusan nanti.
PKL ini juga yang jadi pembeda SMK dan SMA. Nah, kalau nggak
pernah praktik di bengkel, gimana mau bisa PKL? Kalau belajar teori seperti
sekarang, apa bedanya dengan SMA? Itu kata mereka. Kepalaku langsung ngenyut mendengar keluhan mereka.
Sedangkan, program PKL ini rencananya akan dilaksanakan bulan
Maret 2021 mendatang. Imbasnya, siswa harus masuk untuk belajar praktik di bengkel/ lab
komputer di sekolah. Belajar yang nggak mungkin diadakan daring.
Aku sih, membayangkan anak menonton cara naik tiang listrik
di Youtube atau video yang guru kirim. Tapi, kan nggak mungkin mereka praktik
sendiri di tiang listrik depan rumah. Bahaya banget, kan?
Apalagi kalau harus praktik instalasi listrik di rumah tanpa
pengawasan guru. Jaringan listrik yang kelihatannya aja sederhana, tapi risiko
tinggi. Waduh, risiko kebakaran deh rumah anak itu kalau salah masang kabel.
Ada juga jurusan lain seperti kriya kayu atau logam. Bisa, sih praktek sendiri dengan hati-hati. Tapi
kan, anak-anak nggak punya peralatannya. Sebut saja mesin bubut, las listrik,
dan lain-lain. Kendala yang hanya bisa diatasi dengan belajar praktek tatap
muka di sekolah.
Belajar Tatap Muka Saat
Pandemi: Sebuah Ketakutan dengan Alasan
Sekolah sudah memberi kebijakan untuk praktek di bengkel
menggunakan jadwal. Namun, sekali lagi, orang tua enggan mengijinkan
anak-anaknya ke sekolah. Alasannya, ya itu, anak-anak SMK kan gitu. Kalau
disuruh seperti dilarang. Eh, dilarang seperti disuruh.
Maksudku, agak sulit untuk mengontrol anak-anak untuk menaati
peraturan kesehatan Covid. Selain masalah kedisiplinan siswa dalam menaati protokol
kesehatan, kesiapan sekolah juga jadi pertimbangan lain.
Sekolahku itu di depan pasar. Pasar tempel yang ramai sekali.
Kebayang kan suasananya? Apalagi pedagang pasar jarang yang suka pakai masker
dan anak-anak sering berinteraksi dengan mereka untuk jajan.
Selanjutnya, beberapa minggu lalu dua orang temanku, pegawai
TU dinyatakan terkena Covid. Tentu saja, ruang TU ditutup. Aktivitas pegawai TU
yang lain pindah ke ruang guru.
Jujur, aku pun merasa takut. Nggak merasa yakin dengan
program belajar tatap muka ini bisa berjalan seperti biasa. Meski dengan sistem
berjadwal. Lha, wong belajar normal aja anak-anak sulit diatur, apalagi dengan
menggunakan sistem jadwal. Terbayang deh semrawutnya.
Meski begitu, aku yakin, dengan pengawasan guru yang ketat,
program belajar tatap muka dapat dilakukan. Tentunya dengan ijin wali murid
yang sudah menandatangani surat pernyataan. Surat pernyataan setuju untuk
mengikuti pembelajaran tatap muka.
Sedangkan bagi orang tua yang belum menyetujui anak-anaknya
ikut pembelajaran tatap muka, mereka tetap bisa belajar online seperti
sebelumnya. Hingga siswa tetap bisa memperoleh haknya untuk belajar. Bagaimana pun
caranya.
Diskusi
Dunia ini penuh dengan ketidakpastian. Begitu juga dengan
kapan pandemi ini akan berakhir. Nggak ada yang tahu.
Sementara, anak-anak tetap harus belajar. Nggak bisa berhenti
sekolah. Anak-anak nggak bisa menunggu pandemi ini usai, baru belajar. Meski
itu yang jadi keputusan sebagian orang tua murid.
Menurut data di MKKS Kota Bandarlampung, dari sekitar 25 ribu
lulusan SMP, baru sekitar 5.000 yang terdaftar di SMA/SMK sederajat di
Bandarlampung. Hal yang jadi perhatian khusus mengingat banyaknya sekolah
swasta yang kekurangan murid dan terancam tutup.
Anyway, kebijakan yang dibuat pemerintah adalah untuk menyelamatkan bangsa. Tentunya dengan skala prioritas kesehatan masyarakat. Namun,
pertanyaannya jika hanya tubuh yang sehat, bagaimana sebuah bangsa bisa jadi
sejahtera? Bagaimana nasib bangsa jika pendidikan nggak dijadikan prioritas?
Komentar
Posting Komentar