Bersama Melawan Kekerasan Seksual Berbasis Gender
Masih ingat Agni, mahasiswi UGM yang mengalami kekerasan seksual saat menjalani KKN di Maluku di tahun 2017? Kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh teman mahasiswa Agni dari fakultas yang berbeda. Peristiwa yang menyisakan trauma berkepanjangan bagi penyintas.
Kasus serupa juga dialami Meliana, mahasiswi SMIK Primakara Bali di tahun 2019, dan Gangga, mahasiswi IAIN Tulungagung Jawa Timur di tahun 2020. Kasus-kasus kekerasan seksual yang sempat dibahas di media sosial.
Isu kekerasan seksual yang kerap terjadi di sekitar kita ini bagai puncak gunung es. Seolah nggak ada karena ditutup-tutupi. Hal yang mengkhawatirkan mengingat para penyintas harus berjuang sendiri untuk merebut kembali haknya untuk hidup aman dari rasa takut akibat peristiwa yang telah ia alami.
Sementara itu, pelaku kekerasan seksual masih belum menerima sanksi yang sesuai dengan kejahatannya. Beberapa bahkan bisa melenggang bebas tanpa sanksi. Hal yang terjadi karena penyintas bungkam karena rasa takut. Takut disalahkan, takut nggak didukung, dan takut akan ancaman dari pelaku atau lingkungan sekitarnya dengan dalih menjaga nama baik keluarga, instansi, atau kampus di mana penyintas dan pelaku berada.
Baca juga: Bullying dalam Bonesetter's Daughter
Untuk itulah, kita perlu bersama berkomitmen melawan kekerasan seksual. Mengingat korban yang berjatuhan makin bertambah tiap tahun.
Sedangkan, menurut data Komnas Perempuan hanya 7 % dari penyintas yang berani melaporkan kekerasan seksual yang terjadi padanya. Ironis. Padahal negara kita adalah negara hukum.
Untuk itulah, perlu gerakan bersama melawan kekerasan seksual berbasis gender yang dilakukan oleh semua pihak agar peristiwa Agni, Gangga, dan Meliana tidak terulang kembali.
Gamber kanan atas: Isro Ayu, aktifis tuli yang mengadvokasi penyandang disabilitas tuli |
Pengertian Kekerasan Seksual
Nah, mungkin ada yang belum memahami tentang pengertian kekerasan seksual, ya? Aku pun baru ngeh setelah ikut webinar Kampus Merdeka Kekerasan Berbasis Gender ini.
Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), pelecehan seksual adalah orang yang suka merendahkan atau meremehkan orang lain, berkenaan dengan seks (jenis kelamin) atau berkenaan dengan perkara persetubuhan antara laki-laki dan perempuan.
Jujur aja, aku baru memahami pengertian tindakan kekerasan seksual ini. Aku pikir tindakan kekerasan seksual hanya mengarah pada tindakan ancaman persetubuhan aja.
Ternyata, pengertian dari kekerasan seksual adalah setiap tindakan yang mengarah pada ajakan seksual tanpa persetujuan. Ini dijabarkan dalam 15 bentuk tindakan kekerasan seksual, seperti:
1. Perkosaan. Tindakan atau setiap aktivitas memasukkan tangan, mulut, alat kelamin ke mulut, dubur, dan alat kelamin korban secara paksa.
2. Intimidasi seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan. Setiap tindakan baik berupa ucapan atau verbal, teks, sms, atau gesture yang sifatnya mengancam korban dalam upaya aktivitas yang bersifat seksual, seperti: meraba, menyentuh, memandangi tak pantas dan lain-lain.
3. Pelecehan seksual. Setiap aktivitas yang merendahkan, menghina orang lain terkait dengan seksualitasnya, seperti: meraba kemaluan, dada, pantat, atau menghina dalam bentuk verbal, teks, gambar atau video yang nggak pantas.
4. Eksploitasi seksual. Setiap aktivitas seksual yang dilakukan atas paksaan. Biasanya ada unsur keuntungan nominal dan kepuasan seksual yang jadi pemicu pelaku.
5. Perdagangan perempuan untuk tujuan seksual. Aktivitas human trafficking yang melibatkan perempuan sebagai korban. Mereka dijual sebagai komoditi seks bagi keuntungan seksual dan financial bagi pelaku. Ironisnya, ini sering terjadi pada anak perempuan yang jadi korban rayuan pelaku.
6. Prostitusi paksa. Aktivitas prostitusi yang dilakukan korban akibat ancaman pelaku. Biasanya pelaku mendapat keuntungan financial yang besar. Sementara korban hanya dikasih uang sekedar untuk hidup. Ini banyak terjadi di lokalisasi, seperti di Panjang Bandarlampung.
7. Perbudakan seksual. Aktivitas perbudakan seksual akibat ancaman. Biasanya korban terlihat hutang pada pelaku, hingga korban bisa diperlakukan sekehendak hati pelaku.
8. Pemaksaan perkawinan, termasuk cerai gantung. Situasi saat seorang perempuan tak memiliki pilihan dan orang lain memaksa korban dengan atau tanpa alasan perkosaan untuk menikah dengan orang yang sudah atau belum ia kenal. Kasus ini mengingatkan aku dengan kisah Siri Nurbaya.
9. Pemaksaan kehamilan. Kekerasan seksual yang dilakukan pasangan, keluarga atau orang lain tanpa persetujuan. Seorang perempuan dipaksa untuk hamil oleh orang lain dengan atau tanpa aln tradisi atau tuntutan keluarga.
10. Pemaksaan aborsi
11. Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi
12. Penyiksaan seksual
13. Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual
14. Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan
15. Kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama
Dalam pasal 1 UU kekerasan seksual diartikan sebagai setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi secara paksa.
Undang-Undang terkait Pelecehan seksual
Pasal 289 sampai dengan Pasal 296 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) mengatur tentang Pidana pelecehan seksual.
Pasal 289 KUHP berbunyi, "Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan dilakukannya perbuatan cabul, dihukum karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan dengan pidana selama-lamanya sembilan tahun."
Kisah Perjuangan Penyintas Melawan Kekerasan Seksual
Dalam wawancara dengan Vice Indonesia, Meliana menceritakan tentang bagaimana oknum dosen memaksanya untuk berhubungan badan. Ia bercerita tentang gimana oknum ini melakukan pelecehan seksual padanya berulang kali dengan ancaman. Hingga akhirnya ia berani bicara.
Meliana sempat mengalami tekanan dari pihak universitas, dosen, dan keluarga agar menarik kasusnya. Mengajaknya agar berdamai dan menyelesaikan masalah ini dengan jalan kekeluargaan demi nama baik. Ia menolak dan terus berjuang untuk menuntut keadilan.
Dr. Umam dalam webinar ini mengatakan bahwa sulit mendorong pihak universitas untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual di kampus. Ini disebabkan layer yang terpisah antara kebijakan dan pelaksanaan di lapangan, misalnya: kebijakan sudah ada, tapi pelaksana di lapangan belum memahami atau pelaksanaan di lapangan sudah ada tapi kebijakan belum ada.
Masalah ini juga dihadapi oleh penyintas disabilitas untuk menuntut keadilan. Isro Ayu, aktifis tuli mengatakan bahwa keterbatasan akses bahasa isyarat dan kurangnya pengetahuan kaum disabilitas juga mempersulit penyintas memperoleh haknya untuk bebas dari kekerasan seksual.
Selanjutnya, tambah Dr. Umam, ketimpangan relasi kuasa dan belum adanya jaminan perlindungan buat the wistler blower menjadikan penyintas nggak berani melaporkan kekerasan seksual yang dialaminya.
Masalah-masalah Penyintas Melawan Kekerasan Seksual
1. Penyintas bingung lapor ke mana. Ini dialami oleh penyintas yang nggak punya dukungan, baik teman atau keluarga. Belum adanya lembaga sekolah yang menaungi dan menerima laporan penyintas.
2. Kesetaraan pemahaman, korban tidak punya pemahaman tentang kekerasan seksual. Belum memadainya pemahaman dari pelaku, penyintas, dan peer terkait kekerasan seksual. Ini mengakibatkan lemahnya posisi penyintas yang jadi korban. Bahkan, penyintas pun dipersalahkan atas terjadinya kekerasan seksual tersebut.
Ini terjadi pada banyak korban yang melapor. Beberapa pihak masih menganggap penyintas bersalah. Punya andil atas kekerasan seksual tersebut. "Kucing kok ditawari ikan asin."
3. Takut, sulit terbuka untuk lapor pada orang lain. Berkembangnya stigma bahwa guru, dosen, atau orang terdekat di sekitar kita sebagai orang terhormat. Nggak mungkin melakukan kekerasan seksual. Stigma yang mempersulit penyintas untuk membela diri. Mereka merasa takut orang nggak mempercayai laporannya.
4. Pelaku mengancam. Tindakan kekerasan seksual disertai ancaman pun menjadikan penyintas nggak berani melaporkan. Apalagi jika pelaku adalah dosen, kakak senior, atau atasan kerja. Ketimpangan relasi kuasa makin memperparah kondisi psikologis penyintas. Bahkan, kadang wistler blower/ peniup peluit bisa saja dikeluarkan dari tempat kerja atau mendapat nilai buruk.
5. Lingkungan sekolah/ universitas tidak terbuka. Saat kasus Agni, Maria, Meliana, dan Gangga (sebagian mama samaran) terjadi, mereka melapor ke pihak universitas. Sayangnya, pihak universitas belum mau secara terbuka mengakui bahwa kasus kekerasan seksual ini ada. Alasannya adalah nama baik kampus.
Pentingnya Pengetahuan tentang kekerasan seksual
Seperti yang kita ketahui, pengetahuan tentang kekerasan seksual belum banyak disosialisasikan di masyarakat. Bahkan, kampus yang dianggap sebagai wilayah rawan kekerasan seksual, belum memfasilitasi pengetahuan tentang kekerasan seksual. Berbeda dengan beberapa kampus di negara lain, seperti Columbia University.
Tasya Kamila, yang sempat mengenyam pendidikan di Columbia University bercerita bahwa awal pengenalan kampus dimulai dengan menonton video tentang kampus dan pengetahuan tentang kekerasan seksual. Hal yang relevant dengan kehidupan di kampus. Menurutnya, pengetahuan ini penting diketahui untuk mencegah tindakan kekerasan seksual terjadi karena tiap mahasiswa telah mengerti risiko perbuatannya.
Baca juga: Pantaskah Budaya Korupsi Dilestarikan?
Ia menambahkan bahwa kurangnya pengetahuan tentang kekerasan seksual di masyarakat terutama siswa/mahasiswa menjadikan penyintas bingung. Padahal pengetahuan ini penting guna pencegahan, tindak lanjut atau memberi bantuan bagi penyintas.
Kita pun bisa menjadi seorang stanbyer yang mendukung penyintas. Menjadi seorang pendengar yang baik untuk memulihkan rasa percaya diri penyintas. Bahkan, kita bisa mendampingi penyintas untuk memperoleh haknya kembali.
Pentingnya Memahami Bahaya kekerasan seksual
Kesadaran atas pentingnya memahami bahaya kekerasan seksual adalah urgent sifatnya. Apalagi korban yang makin bertambah tiap tahun. Menurut data Komnas perempuan, kasus kekerasan seksual sepanjang tahun 2019 berjumlah 431.471 kasus, sedangkan tahun sebelumnya berjumlah 406.178 kasus.
Melihat besarnya peningkatan jumlah kasus kekerasan seksual, kita harus lebih aware tentang akibat kekerasan seksual yang di antaranya adalah
1. Trauma berkepanjangan. Kekerasan dalam bentuk apa pun pasti mengakibatkan trauma mendalam bagi korban. Nggak bakal hilang. Rasa takut dan penderitaan yang nggak terlupakan sepanjang kehidupan korban.
Aku sendiri pernah di bully waktu kecil. Tapi, hingga hari ini aku nggak lupa. Aku masih ingat dan takut kalau mengingat orang itu. Padahal kejadian itu telah lama berlalu.
Trauma berkepanjangan ini amat berbahaya bagi kesehatan mental korban. Korban akan jadi pribadi yang murung, mudah ketakutan, dan tidak bahagia.
2. Rasa takut/ tidak merasa aman. Efek yang berbahaya dari kekerasan seksual adalah terenggutnya rasa aman. Seperti Gangga yang selalu merasa ketakutan saat ia seorang diri. Ia merasa selalu melihat ke belakang punggungnya. Sungguh nggak nyaman.
Kebayang kan jika kamu nggak merasa aman di suatu tempat? Kita nggak bisa makan, minum, dan tidur dengan tenang. Hidup kita jadi nggak berkualitas karena dipenuhi rasa takut.
3. Depresi dan ingin bunuh diri. Selanjutnya, ketakutan yang terus-menerus akibat trauma kekerasan seksual pasti mengakibatkan depresi. Tertekan. Apalagi kalau nggak ada teman bicara.
Penyintas akan mencari pelarian untuk melupakan masalahnya. Ia akan diskusi atau bercerita pada orang yang dipercaya agar terhindar dari rasa ingin bunuh diri. Beberapa penyintas memilih untuk mencari bantuan psikolog.
4. Hilangnya rasa percaya diri. Stigma sekitar terhadap penyintas yang nggak berimbang menjadikan sulitnya penyintas mengembalikan rasa percaya dirinya. Beberapa yang beruntung bisa diskusi dengan peer, psikolog, atau advocate yang memberi dukungan moril. Sayangnya, banyak penyintas yang belum tersentuh bantuan dengan baik.
Bersama Melawan Kekerasan Seksual Berbasis Gender
1. Membangun kesadaran kritis.
Dengan adanya kesadaran kritis dari tiap pribadi, kekerasan seksual berbasis gender dapat ditekan. Kesadaran ini juga akan mendorong hadirnya kampus bebas kekerasan sosial. Kampus bebas dan aman buat belajar.
Beberapa langkah yang harus dilakukan menuju kampus bebas kekerasan seksual adalah cegah, lapor, lindungi, dan tindak lanjuti. Tindakan cegah yaitu dengan mempromosikan kampus sehat dengan lingkungan aman dan nyaman. Tindakan lapor, yaitu kejelasan, kemudahan lapor, dan keamanan lapor.
Lalu tindakan lindungi, yaitu melindungi pelapor dan penyintas. Memberikan pendampingan bagi pelapor dan penyintas, baik secara psikologi maupun advokasi. Terakhir, tindak lanjut adalah kejelasan mekanisme laporan. Kejelasan sanksi, efek jera, dan perbaikan ke depannya.
Nah, kesadaran kritis dari civitas akan lebih baik dengan adanya regulasi jelas dari pihak universitas. Apalagi dengan perlidungan hukum yang pasti.
2. Kekerasan dalam bentuk apa pun tidak dapat diterima
Di dunia ini nggak ada orang yang rela menjadi korban kekerasan apa pun bentuknya. Sebagaimana orang nggak mau hidupnya menderita karena alasan apa pun. Sayangnya, anak-anak dan perempuan sangat rentan menjadi korban kekerasan seksual karena kedudukannya yang lemah di masyarakat.
Korban sering nggak berdaya karena ketimpangan relasi kuasa di tempat kerjanya. Dr. Umam memberi contoh di wilayah kampus, kadang dosen meminta mahasiswa untuk mengumpul tugas di malam hari atau meminta mahasiswa untuk menemuinya di kampus atau kafe pada malam hari. Sementara mahasiswa tersebut nggak berani menolak karena yang meminta adalah dosennya.
Tindakan dosen tersebut adalah salah satu contoh bentuk kekerasan seksual. Ia memaksa orang lain melakukan sesuatu atas dasar kekuasaannya. Padahal ia bisa meminta mahasiswanya mengumpulkan tugas pada pagi atau siang hari.
3. Komitmen seluruh rektor dalam bentuk fakta integritas untuk mewujudkan kampus bebas kekerasan seksual
Prof. Nizam, Direktur Jenderal Penddikan Tinggi, mengatakan bahwa wacana kampus sehat bebas dari perundungan dan kekerasan sosial merupakan tujuan kita semua.
4. Perlu dibuat regulasi tentang kampus merdeka dari kekerasan sosial melalui Permendikbud
Alhamdulillah, dalam webinar Kampus Merdeka Kekerasan Berbasis Gender ini Prof. Nizam menginfokan bahwa regulasi Permendikbud terkait kekerasan seksual sudah diluncurkan minggu lalu. Artinya, sudah ada payung hukum yang akan melindungi penyintas dan memberi sanksi sebagai efek jera bagi pelaku kekerasan seksual. Harapannya, dengan adanya regulasi yang jelas ini tindakan kekerasan seksual akan berkurang di masa depan. Semoga.
#sumber:
Webinar Kampus Merdeka Melawan Kekerasan Seksual Berbasis Gender
tirto.id
Satu poin penting menurut saya adalah keberanian untuk bicara dan lapor dari sang korban. Kadang dari korban sendiri gak berani atau malu untuk lapor. Nah, kalau sudah lapor, lembaga/institusi lah yang bertanggung jawab untuk melindunginya.
BalasHapusSetuju, mbak. Perlu keberanian besar bagi penyintas dan dukungan dari orang sekitar agar pelaku jera.
HapusMemang sudah tepat kalau ikut perintah agama untuk menjauhi zina. Ini kalau konteks yang belum menikah. Sebelum menikah juga baiknya ikut kelas2 persiapan nikah dulu baik yg perempuan maupun yang laki2. Karena ya rahasia umum deh kalau perempuan masih diposisikan di posisi yang lebih lemah. Banyak yg mengalami KDRT tapi nggak berani lapor juga.
BalasHapusBener, mbak. Posisi perempuan emang yang gak diuntungkan jika ada kasus seperti ini. Hingga penting buat perempuan untuk menjaga diri dengan baik.
Hapus