It’s Okey to Hate Someone, but Do it Short

 

it's-okey-to-hate-someone-but-do-it-short

Seorang guru pernah bercerita tentang persahabatan antara kancil dan monyet yang nggak terpisahkan. Kemana pun mereka selalu bersama. Hingga kancil berbuat kesalahan yang sangat fatal. Ia hampir membuat monyet terbunuh.

Kancil berusaha meminta maaf. Memperbaiki kesalahannya dengan merawat monyet. Namun, monyet tak juga memaafkannya. Kancil pun patah hati.

Setelah kesembuhan monyet, setiap hari kancil menemuinya. Tentu saja, monyet menghindari kancil dengan naik ke dahan pohon yang tinggi. Meski ujung matanya masih memperhatikan gerak-gerik kancil.

Sebenarnya, ia sudah memaafkan kancil. Tapi, monyet gengsi. Apalagi, ia menikmati perhatian kancil. Monyet nggak tahu, hari itu  adalah hari terakhir pertemuannya dengan kancil.

It’s Okey to Hate Someone, but Do it Short

It’s okey to hate someone, but do it short adalah term yang mungkin bisa kuambil dengan tiga pertimbangan. Pertama, aku bukan monyet. Kedua, temanku pun bukan kancil. Ketiga, kami adalah manusia.

Well, aku (mungkin) pernah bersikap seperti monyet di atas. Aku akui, nggak mudah memaafkan seseorang dengan cepat. Sifat buruk yang sangat nggak baik karena merusak akal sehat dan pikiranku.

Bukankah membenci itu merusak pikiran? Sedangkan pikiran yang rusak akan mengganggu kesehatan. Hal yang sangat nggak menguntungkan untuk dilakukan.

Selain itu, membenci  itu melelahkan. Menguras energy dan waktu. Kita juga jadi nggak bisa focus mengerjakan tugas kita dengan sempurna.

Seperti kisah kebencian Dewi Amba pada Bisma yang menghabiskan seumur hidupnya. Menjadikan kebencian sebagai tujuan hidupnya. Lalu, merasa hampa saat kematian Bisma.

Seorang temanku pun pernah bercerita tentang kebenciannya pada saudaranya. Dalam kemarahannya, ia menyumpahi saudaranya agar tertimpa musibah. Sayangnya, saat saudaranya meninggal, ia terus menyesal. Belum pernah mengucapkan kata bahwa ia memaafkan saudaranya itu. Bahwa ia pun sangat mencintainya.

Kebencian  memang membutakan. Meski rasa benci adalah hak manusia, kiranya nggak bijak mengabadikannya dalam hati. Lalu, membiarkan rasa itu mengaburkan perasaan lain yang lebih baik. Rasa kasih sayang.

Kenapa Rasa Benci itu Ada?

Sebelum membahas tentang rasa benci, patut kita ketahui bahwa benci hadir dengan berbagai alasan. Pertama, tanpa alasan. Kedua, dengan alasan. Ketiga, antara keduanya.

Sederhananya sih, mungkin kita sering merasa benci (tanpa sadar) dengan seseorang hanya karena bentuk suara, cara berjalan, agama, warna kulit, bentuk tubuh, atau namanya. Aku nggak tahu, apakah itu masuk dalam kategori pertama, kedua, atau ketiga. Well, kuberikan tugas itu di pundakmu untuk memutuskannya. Aku nggak berhak memutuskan dan menilai ini atas nama dirimu.

Dalam sebuah jurnal “Why We Hate” yang ditulis oleh Agneta Fischer dan teman-temannya, mereka mengatakan bahwa kebencian itu bertujuan untuk menghilangkan target atau orang yang dibenci. Meski, menurut mereka, kebencian nggak selalu menghantui kehidupan mereka.

Menurut ahli, kebencian adalah perasaan yang begitu dalam. Kebencian terbentuk dari perasaan tidak dihargai, dipermalukan, atau perlakuan disengaja dari seseorang yang mengganggu tercapainya goal (Aumer-Ryan & Hatfield, 2007).

Kebencian, berbagi karakter dengan berbagai rasa negative lain, seperti: marah, menghina, dan moral disgust. Perasaan yang begitu intens yang mungkin timbul dari perasaan insecure. Ini bisa terjadi pada korban pelecehan atau korban stigma negative yang hadir dari sejarah.

Seperti seorang buruh migrant dari Indonesia yang sering nggak diperlakukan hormat di negara tempatnya bekerja karena stigma orang Indonesia yang malas dan suka mencuri. Aku juga sering mendengar stigma negative tentang orang Lampung Timur yang dianggap begal. Lirikan menghina yang hadir karena stigma masa lalu.

Kita sering tanpa sadar menyebarkan rasa kebencian dalam diri kita. membiarkannya menetap. Padahal, kita nggak tahu apa-apa. Sekali lagi, hate is an intense emotion,  It may be larger than your logics. Sayangnya, banyak dari kita nggak butuh alasan untuk membenci.

Diskusi

Bisma di akhir kehidupan mengatakan pada Dewi Amba tentang kebencian yang mengabadikan kecantikan fisiknya. Dewi Amba nggak berubah. Seperti kebencian yang ada di hatinya. Meski, akhirnya ia menyesali kebencian itu.

Anyway, nggak ada salahnya membenci sesuatu dengan semangat seperti mencintainya. Namun, mungkin nggak elok rasanya membiarkan rasa itu abadi. Bukankah itu merusak diri dan pemikiran lain. Bukankah seharusnya hidup itu indah?

Meski mungkin, perasaan benci itu pun suatu harmoni dalam diri kita. Rasa yang menyeimbangkan emosi lain. Rasa yang membuktikan pada diri kita bahwa sejatinya kita semua adalah manusia biasa. Pantas untuk dibenci dan dicintai dengan semangat yang sama.

So, gaes.. Siapa yang kau benci kemarin? Lalu, kau maafkan hari ini dan katakan padanya. “Kamu masih sayang padanya, meski sementara. Karena hidupku pun sebentar lalunya.”

Komentar

  1. seperti ada tertulis, jangan menyimpan rasa benci lewat dari matahari terbenam. Alias jangan lewat sehariiii. Memang lebih baik daripada memendam benci, ajak omong orang tersebut empat mata dan selesaikan permasalahan dengannya. Daripada dipendam dan jadi benci untuk selamanya kan??

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setuju, kak. Membenci dalam kurun waktu lama itu nggak menyenangkan ..

      Hapus
    2. yep! Thanks for your insight ^^

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Bullying dan Pencegahan Bullying di Lingkungan Sekolah

Keseruan Kunjungan Industri Jakarta Jogja SMK BLK Bandar Lampung 2022

PERSEPOLIS COMIC REVIEW: The Story of Childhood