Pesta Tahun Baru: Selebrasi yang Nggak Perlu
Dalam
hitungan hari, kita akan menghadapi tahun baru. 1 Januari 2021. Tahun baru
menurut Kalender Masehi yang akan
dirayakan dengan pesta Tahun Baru yang meriah.
Pada pesta Tahun Baru, kita akan menikmati
selebrasi kembang api yang menakjubkan. Banyak juga yang merayakan pesta Tahun
Baru dengan resolusi pencapaian Tahun Baru. Upaya selebrasi yang dilakukan
dengan penuh suka cita.
Nah, pesta
meriah yang menghabiskan banyak uang dan energy ini pasti bikin kita berpikir. Apalagi
kalau bukan tentang sifatnya yang lebih banyak mudorotnya. Hingga, mungkin
secara ekstrim akan terbesit pemikiran bahwa, Pesta Tahun Baru: Selebrasi yang Nggak Perlu.
Sekilas Tentang Tahun Baru
Seperti yang
kita ketahui, kalender Masehi yang dicetuskan oleh Paus Gregorius XIII di tahun
1582, ditemukan oleh oleh ilmuwan muslim asal Persia. Omar Khayyam. Kalender
yang dihitung sejak kelahiran Yesus dari Nasaret.
Sedangkan,
pesta tahun baru, muncul pertama kali di Timur Tengah, 2000 SM. Pesta ini merayakan
munculnya matahari pada tanggal 20 Maret. Pesta Tahun Baru yang diadakan di
tempat peradaban kuno dunia. Mesopotamia. Sekarang kita menyebutnya Irak.
Perayaan yang
dirayakan terus menerus oleh masyarakat yang hidup selanjutnya. Termasuk di
Indonesia yang mengapdosinya dari budaya modern. Hingga hari ini.
Pesta Tahun
Baru: Selebrasi yang Nggak Perlu
Well, kita
nggak perlu membayangkan pesta Tahun Baru pada zaman itu. Zaman yang masih
mengenal perbudakan. Hingga status sosial dapat menguatkan posisimu untuk
memperoleh kenikmatan dunia.
Aku sih,
membayangkan pesta yang meriah. Begitu banyak makanan dan minuman lezat yang
terhidang. Keluarga raja dan bangsawan menikmati selebrasi dengan penuh tawa.
Sementara,
para budak dan pelayan sibuk melayani tuannya yang berpesta. Mereka bekerja
lebih keras. Namun, belum tentu perut mereka terisi makanan dan minuman. Apalagi
bisa menikmati kesenangan berpesta.
Bukankah di
abad itu bangsa Sumeria masih
mengenal perbudakan? Perbudakan yang mungkin masih terjadi hingga saat ini dalam bentuk berbeda. Hingga kita perlu
menanyakan pada diri. Apakah selebrasi tahun baru itu suatu kewajiban? Perlu
dirayakan?
Apalagi kita
ketahui saat ini masih dalam masa krisis kemanusiaan. Pandemi. Meski mungkin,
menurut pemikiran skeptisku, masa sulit ini nggak mempengaruhi keadaan ekonomi
orang-orang yang biasa berpesta. Sama sekali nggak.
Sedangkan
bagi sebagian yang lain, pesta, apa pun namanya adalah sebuah tontonan yang
bukan tuntunan. Hal yang sama sekali bukan hal baru bagi mereka. Sudah biasa.
Maksudku,
banyak orang yang sudah terbiasa dengan kemiskinan. Terbiasa lapar. Terbiasa dengan
tatapan miring. Hingga, nggak merasa terganggu saat ada pesta di televisi saat
perutnya keroncongan,
Mereka bisa
menyanyi bersama. Tertawa bersama. Melupakan sejenak rasa lapar dan kesedihan
akan nasib apa yang akan dihadirkan di tahun depan. Tetap ikut merasakan
selebrasi tahun baru. Meski dari layar televisi.
Mungkin, itu
juga yang jadi penyebab banyak orang yang bercucur air mata melihat artis di
layar kaca yang bercerita tentang kesulitan kehidupannya. Mereka merasa
senasib. Nggak sendiri. Merasa bahwa ada harapan di balik semua penderitaan
ini.
Namun,
sekali lagi, kenapa sebuah pesta tahun baru yang megah masih bisa
terselenggara? Padahal ada bencana banjir. Padahal begitu banyak orang yang
kelaparan. Padahal banyak sekolah yang ambruk?
Aku jadi
ingat dengan salah satu minor character
dalam And A Thousand Splendid Suns. Seorang dokter yang begitu iri dengan
sepupunya yang philanthropist. Menganggap
sepupunya seorang yang suka pamer kebaikan.
Lalu, ia
menjanjikan seorang gadis yang jadi korban kekerasan untuk berobat di Amerika. Ia merasa kesuksesannya harus dibagi
dengan sesama. Apalagi, ia seorang dokter. Paling mengerti rasa sakit orang
lain.
Singkat cerita,
ia melupakan janjinya pada si gadis yang terus menunggunya di Kabul. Ia pikir,
apa yang ia peroleh adalah haknya. Kesuksesan ini adalah miliknya. Ia nggak
perlu merasa bersalah, meski ia nggak menolong si gadis itu. Nanti, pasti ada
orang lain yang melakukannya.
Si dokter
melanjutkan hidupnya. Merayakan keberhasilan hidupnya. Meninggalkan janjinya
dan mengubur kata hati. Rasa bersalah yang akhirnya menghantui sepanjang hayat.
So, gaes. Pesta
Tahun Baru adalah hak semua orang untuk merayakan atau tidak merayakannya.
Namun, selebrasi yang melupakan bahwa sekitar kita sedang kesusahan adalah hal
yang nggak baik. Ibarat tertawa keras saat teman kita tertimpa musibah.
Diskusi
Ada banyak
cara merayakan hari yang baru. Pesta Tahun Baru pun kiranya bisa jadi selebrasi
untuk mensyukuri nikmat yang dimiliki. Menghargai apa yang masih ada.
Kita nggak
pernah tahu apa yang kita akan hadapi besok. Pesta akan usai. Hidup akan terus
berjalan. Tugas kita hanyalah menikmati hidup kita ini dengan baik. Lalu,
membagi kebahagiaan itu sekecil apa pun. Semampu kita.
Kemarin mungkin telah berlalu. Bukan milik kita lagi. Meski hari ini pun belum
tentu milik kita. Aku berpikir, kita akan lebih baik membaginya bersama. Hingga mungkin, hari
esok bisa jadi lebih indah lagi. insha Allah.
Aku juga kadang bingung, kenapa orang rela beli kembang api banyak-banyak terus dinyalakan... Sama saja seperti membakar uang kan??
BalasHapusTahun baru buatku juga bukan yang dirayakan bagaimana... Ga dibuat pesta. Bisa dibilang seperti menjalani hari seperti biasanya. Bedanya, sesekali ikutan niup terompet. Nyalakan kembang api pun tidak. Tapi ikut senang melihat kembang api yang gemerlapan di langit malam. Memang setiap orang tentu punya caranya sendiri untuk menyambut tahun baru. Ada yang suka menghamburkan uang untuk berpesta, ada pula yang merayakannya secara sederhana. Tapi itu semua pilihan. Seperti hidup, yang juga merupakan pilihan mau dibuat seperti apa.. ^^
Benar, Kak. Kesedeehanaan dalam hidup mungkin bisa jadi pilihan terbaik. Tapi, sekali lagi, hidup memang sebuah pilihan.
HapusAnyway, thanks sudah mampir, kak🙏