Takut Merantau? Nih, Cara Mudah Hidup Merantau
Hampir semua orang takut perubahan yang drastis dalam hidup. Seperti hidup merantau yang pasti membuat kita harus bisa mandiri. Nggak mengandalkan orang lain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Apalagi nggak bisa memeluk keluarga saat sedang kangen-kangennya.
Kita harus
belajar untuk menata hati kita dengan baik. Selain tentu saja, menata keuangan
yang kita hasilkan karena kita nggak ingin makan mie sepanjang akhir bulan
sepanjang tahun. Khawatirnya kita akan merasa nggak sehat dengan diet mie
selama itu. ya kan?
Aku punya
tips simple agar kamu nggak takut merantau. Nih, cara santai hidup merantau ala
Yoha. Tips yang kuharap dapat berguna buat kamu. Yuk, dibaca.
Cari Kosan/ Rumah
tinggal yang sesuai budget
Tinggal di
lingkungan yang baik dan menyenangkan adalah impian kita. Apalagi tempat yang
nyaman buat belajar, bekerja, dan membesarkan anak-anak kita. Namun, ada beberapa
pertimbangan yang harus kita pikirkan agar kita nggak keteteran dalam mengelola
budget kita. Salah satunya adalah dengan menyesuaikan biaya rumah tinggal
dengan kemampuan keuangan kita.
Dulu sih, aku
pernah kos di rumah sebuah keluarga di Bandarjaya, Lampung Tengah dengan biaya
Rp50.000 per bulan. Biaya yang kusesuaikan dengan penghasilanku yang hanya
Rp300.000 per bulan. Aku harus menyisihkan uang untuk makan dan transport.
Aku nggak
ingin seperti teman yang kelimpungan karena harus membayar uang sewa rumah
sebesar Rp1.000.000 per bulan. Padahal gaji hanya Rp1.500.000 per bulan dan
uang makan yang lebih dari Rp500.000 per bulan. Belum lagi ditambah uang
transport, skin care dan lain-lain. Bisa dibilang, meski sudah bekerja, ia
masih mengandalkan uang kiriman orang tuanya.
Kasus serupa
banyak terjadi pada teman-temanku yang merantau dari kampung. Mereka sudah
bekerja bertahun-tahun, namun masih mengandalkan uang orang tua Karena kos yang mahal dan gaya hidup yang
nggak berubah.
Nah,
idealnya sih kita bisa menyewa atau tinggal di rumah yang harganya terjangkau
dan berada dekat dengan lokasi kita bekerja. Kondisi ini memungkinkan kita
untuk lebih menghemat waktu, tenaga, dan
uang. Kita juga dapat lebih mudah untuk mengatur ritme aktivitas karena waktu
nggak terlalu banyak kita habiskan di perjalanan.
Makan apa adanya
Saudaraku pernah
bilang padaku begini, “Ngapain kerja capek-capek kalau makan aja apa adanya!
Hidup kan cuma sekali. Makan apa yang kita mau. Mumpung masih bisa.”
Memang sih,
kita kerja supaya kita bisa makan. Tapi, kita kan nggak bisa menghabiskan uang
yang kita hasilkan buat makan saja. Kalau itu terjadi, artinya kita nggak akan
punya tabungan. Sayang kan?
Well, ucapan
yang mungkin nggak ada salahnya. Namun, kalau kebablasan ya, nggak akan ada
habisnya. Seperti yang orang bilang, kita nggak akan pernah bisa memuaskan
perut dan apa yang ada di bawahnya.
Dengan kata
lain sih, makan seadanya adalah makan secukupnya. Sederhana saja. Aku sih
mengatur menu dietku dengan protein nabati yang murah seperti tempe, tahu dan
sayuran. Dalam seminggu aku mengonsumsi
daging sekali atau dua kali. Aku nggak merebut hak tubuhku untuk menerima
asupan makanan yang sehat.
Untuk variasi
sayuran, kalau bosan dengan kangkung, bayam, dan sejenisnya, aku memasak terong
yang tumbuh di samping rumahku. Kadang aku memasak daun kelor atau cepoka yang
juga ada di samping rumah. Aku juga menanam cabe, sereh, lengkuas, jahe, dan
umbian lain. Lumayan untuk mengurangi biaya bumbu dapur. Ya kan?
Tidak boros
Setiap
gajian, hampir semua orang suka belanja. Sekedar menyenangkan diri sesaat atau
memberi reward atas kerja keras sebulan. Aktivitas yang lumrah asalkan nggak
kebablasan.
Sayangnya, aku
sering meihat temanku yang tergiur dengan harga diskon, potongan harga, atau
cuci gudang yang bikin uang jatah untuk sebulan bisa raib dalam hitungan jam. Hasilnya,
baru pertengahan bulan kita sudah kebingungan untuk sekedar beli susu anak atau
makan sehari-hari. Lalu, kita mengandalkan berutang agar bisa bertahan hidup.
Seorang temanku,
bahkan harus meminjam uang Rp30.000.000
karena harus membayar hutang-hutangnya. Ia
memiliki gaya hidup yang boros, seperti: makan-makan, jalan-jalan, dan hang out
bareng teman-temannya. Padahal gajinya nggak bisa menutupi gaya hidupnya ini. Akibatnya,
orang tuanya yang dari kampung harus ikut
mengurus masalah ini. Kasihan kan?
Maksudku,
kita pasti nggak bisa bertahan hidup di perantauan kalau hidup kita boros. Karena
hidup yang baik di mana pun adalah hidup yang nggak boros. Sederhana. Nggak
memaksakan sesuatu di luar kemampuan financial kita.
Berteman / Bersosialisasi dengan teman yang sama
Teman itu
bisa membantu kita sukses lebih mudah. Selain itu, teman juga dapat menjadi
pengganti keluarga yang jauh dari perantauan. Mereka bisa mengobati rasa rindu
yang hadir saat kita nggak bisa pulang ke kampung halaman.
Aku pernah
merasakan kangen dengan kampung saat merantau di Bandar Jaya. Meskipun jarak
Bandatlampung dan Bandar Jaya hanya sekitar 60 kilometer, aku nggak bisa pulang
setiap hari. Jadwal mengajarku yang dimulai dari jam 8 pagi hingga jam 7 malam
kadang membuatku terlalu lelah untuk perjalanan 3 jam tersebut.
Untuk
mengobati rasa kangen rumah, aku memiliki keluarga angkat di Terbanggi.
Keluarga Bu Retno yang kukenal saat mengajar di GGPC tahun 2006. Aku sering
menginap di rumahnya dan makan di sana. Bahkan sangking dekatnya, aku pernah ikut main ke kampungnya di Ngawi. Semua
keluarganya baik sekali padaku.
Nah, Bu
Retno ini adalah orang yang sederhana. Mungkin itulah sebabnya aku merasa dekat
dengannya. Kedekatan yang sampai hari ini masih kurasakan meski aku sudah
jarang ke Bandar Jaya lagi.
Santai saja
Jauh dari
keluarga itu nggak mudah. Kita nggak bisa menyandarkan kepala di dada ibu saat
ingin menangis. Apalagi minta dipijati saat badan sedang sakit.
Namun,
kebebasan untuk mengatur hidup dan bertanggung jawab dengan pilihan tersebut
akan terlatih lewat hidup di perantauan. Kita juga akan lebih mengapresiasi
hasil kerja kita karena proses sulit yang kita hadapi.
Aku pernah
hanya makan dengan nasi dan tempe saja selama berhari-hari. Namun, aku selalu
happy. Perasaan senang karena aku tahu tujuanku merantau adalah usaha untuk
membahagiakan keluargaku. Selain tentu saja, aku melakukan pekerjaan yang
kusukai, mengajar.
Temanku bilang
kalau aku itu orang yang terlihat bahagia. Aku selalu tersenyum pada orang yang
kutemui, meskipun aku baru pertama kali bertemu dengannya. Entahlah, itu
terjadi begitu saja. Mungkin, itu terjadi karena aku bahagia dengan yang
kumiliki. Aku bersyukur dengan apa yang kumiliki sesederhana apa pun itu.
Kalaupun ada
masalah berat , misalnya dulu saat adikku sakit dan kami belum tahu obatnya,
aku masih bisa tersenyum dan tertawa lepas. Sebab aku tahu, life will come to an end eventually. If you
can’t get rid a problem, just take it easy.
Prinsip
santai saja tapi serius adalah cara mudah agar bisa survive di perantauan. Kalau
pun ada masalah yang besar sekali, pecahkan aja sedikit-sedikit, pasti masalah
itu pun akan selesai juga. Seperti kata seseorang dalam sebuah buku yang kupikir
bagus, “If you want to eat a bear, just
take one small bite at a time.”
So, gaes.
Pernah merantau dan merasa kesulitan. Santai saja. Semua masalah pasti ada
jalan keluar. Semua pasti akan baik-baik saja. Percayalah. Semangat, ya!
Komentar
Posting Komentar