Melawan Malas di Masa Pandemi
Hari ini sudah memasuki hari kelima Tahun
Ajaran Baru 2021/2022. Tapi, seorang temanku yang juga guru masih belum membuat
kelas di Google Classroom. Alasannya adalah anak-anak malas belajar. Ia merasa
percuma membuka kelas, karena nggak ada siswa yang masuk dan belajar.
Mendengar jawaban temanku itu, aku merasa
kecewa. Bukankah guru itu model bagi siswanya? Kalau guru malas, bagaimana
dengan siswa-siswinya? Aku sih berpikir, apa pun alasannya, guru harus berusaha
melaksanakan pekerjaan dengan hati. Terus semangat untuk mengajar, meskipun
kelas kosong.
Memang, rasa bosan dan malas pasti muncul.
Sebagai guru dan orang tua, aku menyadari sulitnya melawan rasa malas selama pandemi. Aku harus membangun kesadaran bahwa guru harus memiliki
kompetensi dalam membantu peserta didiknya dengan mengembangkan asas merdeka
belajar.
Metode yang menitikberatkan pada
pembelajaran yang terpusat pada siswa. Mengutamakan capaian belajar dengan
menggunakan profil pelajar Pancasila dengan metode assessment yang tepat.
Sehingga seorang guru selalu bergerak aktif untuk belajar, Mengupgrade skills
yang ia miliki agar dapat menjawab tuntutan pembelajaran saat ini.
Kenapa sih Guru malas?
Aku punya teman guru yang pintar di
bidangnya, tapi ia hanya masuk kelas 2 kali selama satu semester. Bahkan, saat
anak-anak menjemput di ruangannya pun ia tidak bergerak di kursinya. Ia hanya
memberikan tugas.
Herannya, beliau selalu sibuk mengingatkan
kami tentang hak dan kewajiban sebagai guru. Mendidik generasi bangsa.
Mendengar ucapannya, kami hanya diam. Lalu, pelan-pelan pamit mundur. Malas
mendengarkan orang yang hanya pintar ngomong.
Aku tahu, guru itu pun manusia. Kupikir
merasa bosan dan malas sesekali adalah wajar. Tapi, rasa malas yang dibiarkan
terus-menerus akan berakibat buruk. Guru tersebut akan disebut pemalas.
Aku memperhatikan kalau alasan guru malas
itu bisa beragam, seperti:
- Mencari perhatian. Seorang teman ada yang senang kalau ditegur dan diingatkan orang lain. Masalahnya, kita juga akan bosan mengingatkan tiap hari. Setiap orang kan punya pekerjaan dan tanggungjawab masing-masing.
- Sifat. Seperti temanku, sebut saja Bunga. Ia hanpir nggak pernah masuk kelas seumur hidupnya mengajar. Ia hanya memberi tugas pada siswa atau minta tolong guru piket atau guru PPL untuk menggantikannya. Sementara ia sibuk urusan lain.
- Kinerjanya kurang diperhatikan. Tipe guru ini sebenarnya guru yang kreatif. Namun, ia merasa kurang diperhatikan oleh atasannya. Bisa jadi, apresiasi pada Bunga dan dirinya sama saja. Padahal, beban tugasnya lebih banyak dan berat. Hal ini membuatnya malas.
- Kurang tantangan. Guru tipe ini mungkin bekerja di bidang yang bukan passionnya. Meskipun ia memiliki skill yang baik, ia nggak merasa tertantang untuk upgrade skillnya. Jadi ia mengajar hanya sekedar menggugurkan kewajiban saja.
Sebenarnya, masih banyak alasan seorang
guru bisa malas, seperti alasan gaji kecil, jarak yang jauh, honor yang belum
dibayarkan, sarana prasarana mengajar yang nggak memadai, dan lain-lain.
Namun, guru malas pun bisa berubah asalkan
ia memiliki motivasi. Hingga, pelatihan guru dan pertemuan antara sesama guru
itu penting sebagai sarana berbagi semangat, ide, dan solusi dalam pembelajaran
di kelas.
Nah, mengatasi masalah guru malas
merupakan sesuatu yang krusial. Karena pada dasarnya, nggak ada guru yang bodoh
atau nggak kreatif. Guru yang belum kompeten itu adalah guru yang malas
belajar. Nggak mau bergerak untuk berubah.
Tantangan Guru malas
Meskipun banyak alasan untuk jadi guru
malas, seorang guru professional akan berusaha untuk memenuhi kewajibannya dan
terus semangat belajar dan mengajar di kelas. Sedangkan alasan untuk stay
lazy pun dapat diubah menjadi alasan untuk membantu anak-anak mencapai
tujuannya. Menuntut ilmu dan mempraktikkan ilmu tersebut di masyarakat.
Seperti Pak Edi, teman guru yang usianya
sudah hampir kepala tujuh. Meskipun ia terlihat mengantuk dan malas, ia tetap
mengajar di kelas. Ia nggak pernah absen membantu anak-anak praktik di bengkel.
Usia nggak menyurutkan semangat beliau untuk berbagi. Bahkan, hujan deras pun
beliau datang ke sekolah. Keren, ya!
Aku sih, nggak merasa sebagai guru professional.
Meskipun sudah lulus PPG tahun 2018, aku semakin menyadari masih banyak PR
untuk menjadi guru kompeten. Apalagi dengan indeks kemampuan rata-rata guru
yang lulus PPG baru sekitar 7,5. Masih belum mampu bersaing dibandingkan dengan
negara tetangga yang nilainya di atas 8,5.
Materi test PPGDJ meliputi 4 bidang, yaitu: test professional, pedagogic,
bakat minat, dan potensi akademik (TPA). Dan, hanya yang mencapai nilai ambang
batas yang dapat lulus. Sayangnya, jumlah peserta Pendidikan Profesi Guru Dalam Jabatan atau PPGDJ Unila Tahap I yang aku
ikuti, baru sekitar 55% yang lulus. Sisanya lulus setelah mengikuti test kedua
dan test ketiga.
Meski test yang diberikan belum dapat
mengukur kemampuan guru professional, kita bisa mengatakan bahwa sebagian besar
guru masih membutuhkan pembinaan melalui pelatihan kompetensi yang disesuaikan
dengan kebutuhan guru.
Alhamdulillah, sejak lulus PPGDJ 2018 dan
menjalani perenungan selama mengajar di rumah selama pandemi, aku semakin
semangat belajar untuk menunjang kompetensi sebagai seorang guru.
Tapi, bagaimana nasib Pak Edi di masa
pandemi ini?
Beliau masih rajin datang ke sekolah. Kadang kulihat Pak Edi berdiri di tengah bengkel. Matanya menerawang. Di lain hari, ia terlihat duduk hingga tertidur di bengkel. Sayangnya, Pak Edi sudah nggak sanggup belajar tentang penguasaan teknologi. Ia bingung meskipun Pak Sutrisno sudah berusaha menjelaskan dengan sabar. Akhirnya, Pak Sutrisno yang membantunya untuk mengajar di kelas virtual.
Karena pandemi, guru dituntut untuk
mempelajari teknologi terbaru yang dapat membantu proses pembelajaran di kelas.
Hingga Pak Edi pun bekerja sama dengan Pak Sutrisno agar proses pembelajaran
dapat berjalan baik.
Kisah tentang Pak Edi bukan cerita fiksi.
Masih banyak Pak Edi lain yang ada di sekitar kita. Bahkan, Pak Edi yang
berusia muda. Untunglah, orang-orang seperti Pak Sutrisno mau berbagi dan
membantu Pak Edi.
Aku pun saling berbagi ilmu dengan
teman-teman yang lain. Kami belajar bersama agar dapat mengupgrade skills
mengajar dan skill penunjang lain. Bahkan, dengan kemampuan yang terbatas, aku
dapat membantu teman-teman guru yang masih kesulitan menggunakan Google
Classroom atau applikasi untuk mengajar lain.
Jika aku merasa kesulitan, sekarang aku
nggak segan bertanya dan belajar dengan teman guru yang masih muda dan ahli di
bidang ini. Rasanya senang sekali bisa
belajar hal baru dan mengaplikasikannya dalam pembelajaran sehari-hari.
Aktivitas
guru mengajar di rumah selama pandemi
Sebenarnya, aku nggak selalu mengajar di
rumah saja selama pandemi ini. Aku tetap berangkat ke sekolah dan mengajar di
ruang guru atau ruang kelas melalui Google Classroom atau Google Meet. Bedanya
adalah pada semester genap 2020, aku maasih merasa kaget dan belum terbiasa
mengajar di ruang virtual. Sekarang sih, aku sudah merasa sedikit percaya diri.
Kalau aku nggak dapat piket di sekolah,
aku akan mengajar dan memberi tugas lewat Google Classroom di rumah. Lalu, aku
akan mengingatkan anak-anak untuk mengerjakan tugasnya lewat whatsapp group. Aku
selalu berusaha untuk melakukan apa yang kubisa untuk membantu anak. Termasuk merekam
suara penjelasanku agar dapat dipahami anak-anak.
Memang, tantangan mengajar efektif di masa
pandemi ini adalah tantangan bagi kami. Terutama, bagi siswa SMK yang nggak
bisa hanya dijelaskan, tapi harus diajak praktik di bengkel. Tantangan yang
menjadikan guru lebih kreatif dalam metode pembelajaran di kelas.
Nah, bagaimana denganmu? Apakah kamu merasakan dampak langsung dari pandemi ini?
Komentar
Posting Komentar