Yuk, Pilih Berbuat Baik Meskipun Sulit
Kenapa? Karena, kita secara alami ingin diperlakukan dengan baik di mana pun kita berada. Nggak peduli siapa pun diri kita, kupikir nggak ada yang ingin diperlakukan dengan buruk.
Bahkan, orang yang mengaku pendosa nggak pernah berdoa untuk diperlakukan dengan jahat oleh orang lain. Ya, kan? Hingga, mereka berharap untuk tobat semasa hidupnya.
Alasan Seseorang untuk Memilih Berbuat Baik
Sekarang, kita selalu mencari alasan atas segala tindakan yang dilakukan. Berpikir secara rasional bahwa kebodohan saja yang jadi dasar berbuat baik. Karena, itu nggak menguntungkan secara ekonomi.
Memilih berbuat baik, hanya membuang energi, waktu, dan pikiran. Bukankah menolong orang lain nggak ada gunanya? Bukankah lebih baik menggunakan fasilitas tersebut untuk diri sendiri?
Namun, kita perlu melihat fakta tertentu tentang berbuat baik dan urgensinya di tengah disrupsi masyarakat sekarang ini.
- Kita hidup di tengah masyarakat. Nggak sendiri. Sehingga, pertimbangan untuk berbuat baik patut dilakukan. Apalagi, sebagai bagian dari masyarakat yang bagaikan satu tubuh. Jika ada bagian tubuh yang sakit, maka sudah selayaknya bagian tubuh yang lain mengurangi bebannya. Membantunya mengurangi rasa sakit tersebut.
- Kita adalah manusia. Mahluk Tuhan yang wajib memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan. Kita percaya bahwa semua perbuatan itu kelak akan kembali pada kita. Menjadi mahluk yang akan membantu kita. Bayangkan saja, jika kita selalu berbuat baik, maka mahluk indah yang akan menemani hidup kita. Rasanya pasti membahagiskan. Ya, kan? Mungkin, itu sebabnya orang yang begitu cinta akan materi (dunia), takut dengan apa pun yang mempresentasukan perpisahan dengan materi, seperti: kematian, sakit, tua, jelek, atau miskin.
- Kita adalah mahluk berakal. Hingga, kita sadar bahwa memilih suatu tindakan pasti ada konsekwensinya, baik secara fisik maupun mental. Berbuat baik, mungkin akan mengorbankan waktu, uang, dan tenaga. Tapi, pilihan untuk berbuat jahat yang mungkin menguntungkan akan mengakibatkan rasa bersalah yang akan terus menghantui.
Meskipun, mungkin, rasa bersalah itu akan menghilang seiring waktu karena perbuatan jahat yang terus dilakukan dan dianggap biasa. Lalu, hati yang lembut pun akan mengeras. Nggak merasakan lagi rasa bersalah. Dan, hilanglah secara perlahan rasa kasih pada sesama, karena hati telah mengeras. Nauzubillahi min zalik.
Ketiga alasan di atas, kupikir dapat jadi bahan perenungan atas ajakan berbuat baik yang wajib kita dakwahkan.
Pengalamanku tentang pilihan berbuat baik
Sebagai pembelajaran, aku akan bercerita tentang pengalamanku kemarin.
Siang itu aku diajak seorang teman untuk ikut dengannya ke Jakarta. Jujur, aku ragu intuk nebeng dengannya, karena sifatnya yang sering menggampangkan sesuatu.
Namun, layaknya orang yang tergoda, aku pun ikut. Tawaran gratis dan kesempatan untuk bertemu dengan ibu dan saudara-saudaraku di Bekasi membuatku goyah.
Seperti yang aku duga, perjalanan lebih banyak dihabiskan dengan menjemput calon assistant rumah tangga yang ingin ia antar ke Jakarta. Oya, sebelum aku lupa, temanku ini, sebut saja namanya Inem, adalah sponsor pencari kerja. Inem bantu orang-orang yang ingin kerja baik di dalam maupun luar negeri.
Menurut Inem, ia merasa telah berbuat baik. Membantu orang lain untuk mendapatkan pekerjaan. Meskipun salut dengan kegigihannya, aku sering merasa bingung dengan caranya. Inem, kadang dengan berani memalsukan ijazah calon tenaga kerja tersebut. Bahkan, Inem, tidak mengembalikan uang orang yang gagal dapat pekerjaan. Alasannya adalah uang telah digunakan untuk akomodasi dan administrasi.
Entahlah, mengingat integritasnya tersebut, aku selalu meragukan perbuatan baiknya. Namun, aku berpikir lagi, apa hakku untuk menilai orang lain? Memangnya aku sudah lebih baik?
So, atas dasar pemikiran "benefits of the doubt" tersebut, aku selalu menyangka perbuatan tak baiknya, meskipun sudah terang benderang. Contohnya, sering bohong saat berjanji dan menunda-nunda membayar hutang. Padahal, Inem sering pamer kalau uangnya banyak.
Okey, kembali ke ceritaku tadi. Aku pun cukup menikmati perjalanan ini. Bertemu
dengan 3 calon ART (assistant rumah tangga) dan satu sopir yang ternyata murid kami tahun 2013 lalu.
Kami makan bareng, naik kapal, dan menikmati suasana siang di laut. Aku sampai di Bekasi sekitar jam 11.30 malam. Tentunya, setelah melewati drama nyasar hingga harus putar arah dan menghabiskan berjam-jam di jalan tol yang seolah nggak bertepi. Jujur aja, aku sempat merasa bahwa kami akan nyasar sampai jauh ke Bandung.
Hasan, keponakanku bersama kakungnya |
Alhamdulillah, aku bisa duduk dan bertemu dengan ibu, adik, kakak, dan ponakan baruku. Hasan. Bayi montok yang kini berusia 5 bulan 3 hari. Rasanya, dada ini penuh. Bahagia banget.
Kami pun minum teh hangat dan nasi goreng. Sayang, nasi gorengnya terlalu pedas, hingga nggak ada yang sanggup menghabiskannya. Tapi, nggak mengapa. Di rumahku banyak ayam. Sisa nasi ini adalah rezeki mereka.
Selanjutnya, mereka melanjutkan perjalanan ke rumah saudara si Inem untuk tidur dan istirahat. Oya, yang ikut ke rumah tinggal satu calon ART, namanya Nita. Dan, karena khawatir nyasar lagi, adikku pun mengantar Inem dan rombongannya.
Alhamdulillah, nggak ada cerita. Artinya, Inem dan rombongannya sampai tujuan dengan selamat.
Kebaikannya mengantarku langsung berbuah. Inem nggak nyasar lagi. Ini bukti perbuatan baik pasti kembali pada diri kita. Sayang, kita sering nggak sadar. Ah, itu sih yang aku rasa dan renungkan saat perjalanan pulang. Sendiri.
Lho, kenapa pulang sendiri?
Ya, gitu. Inem, bilang bahwa ia akan pulang sore. Tapi, Inem mengubah rencana. Pukul 11 siang ia japri. Janjian di sebuah PT. Tempat Inem menitipkan calon ART yang ia bawa. Tentunya, perubahan rencana ini bikin aku sedikit kelabakan. Untunglah, adikku bisa mengantarku.
Sayang, saat tiba di tempat yang dijanjikan, Inem sudah geser tempat. Ia menungguku di Monas. Jaraknya lebih dari 25 km dari tempat janjian. Tentunya, aku kesal. Apalagi, suasana Jakarta yang panas dan macet bikin aku makin emosi.
Singkat cerita, aku pun memutuskan untuk pulang ke Lampung menggunakan DAMRI. Yah, daripada aku ke Monas dan Inem sudah geser tempat lagi. Lebih baik pulang sendiri. Toh, aku bawa uang. Alhamdulillah.
Dalam perjalanan pulang itulah, kurasakan marah dan kecewa yang dalam pada sikap Inem. Namun, adikku menyadarkanku bahwa risiko "nebeng" adalah ditinggal. So, I have to suck it up. Don't take it too personally.
Adikku pun bilang padaku, "Kamu harus bersyukur sudah diantar dengan selamat. Dan, bisa bertemu dengan Hasan dan mamak. Ambil sisi positifnya saja. Supaya hati lapang.'
Berbuat Baik itu membahagiakan
Selain ketiga alasan di atas, pertimbangan berbuat baik lain adalah kebahagiaan batin. Perasaan senang yang nggak terukur saat kita berbuat baik.
Aku pernah membaca kisah seorang buruh migran yang kerja sebagai perawat. Ia merawat seorang ibu yang sakit parah. Namun, si ibu tersebut memulangkan sang perawat, karena iba.
Perawat yang baru saja melahirkan itu pun pulang ke negatanya. Si ibu bukan hanya memberinya ongkos, tapi juga membayar penuh gaji si perawat selama setahun. Nanti, jika masih ingin bekerja dengannya, si perawat dapat menghubungi si ibu. Ia akan mengirim ongkos untuk bekerja padanya.
Singkat cerita, setahun berlalu, si perawat menghubungi si ibu untuk bekerja padanya. SI ibu pun mengirim uang untuk akomodasi si perawat. Namun, betapa kaget si perawat, si ibu kini sudah mampu bangun dari tempat tidur. Padahal, setahun lalu, kondisinya begitu lemah. Hanya terbaring saja di tempat tidur.
SI ibu pun bercerita, setelah mengirim si perawat pulang, ia merasa lega dan bahagia. Semangatnya seolah tumbuh. Badannya terasa lebih enak. Dan, dokter terkejut saat memeriksa kondisinya. Penyakitnya telah hilang. Alhamdulillah.
Begitulah, kisah ini. Cerita yang mungkin memiliki kesamaan dengan kisah inspiratif lain tentang buah kebaikan. Bagaimana kebaikan itu menjauhkan bencana. Menyembuhkan penyakit. Meski, secara klinis terkesan nggak masuk akal. Namun, aku percaya, Allah selalu bersama dengan orang-orang yang baik.
Perenungan tentang ajakan Berbuat Baik
Aku teringat dengan kata-kata yang diucapkan oleh Cinta Laura, salah satu artist dalam YouTube.
Kita sebagai manusia harus menyadari pentingnya berbuat baik, karena kita hidup di dunia ini hanya sebentar saja.
So, alasan apa lagi yang kita butuhkan untuk berbuat baik? Sekali lagi kita bisa memilih untuk mencari-cari alasan untuk melakukan perbuatan baik atau tidak adalah pilihan. Semoga Allah menguatkan kita semua untuk memilih masuk dalam golongan orang-orang beruntung. Selalu berusaha berbuat baik hanya karena Allah. Aamiin.
Komentar
Posting Komentar