Mengenal Bullying dan Pencegahan Bullying di Lingkungan Sekolah
"Saya pernah dipukul, ditendang, dihina, dan dikucilkan. Hanya karena saya terlihat berbeda," kata Amin.
Mendengar cerita Amin, aku hanya bisa ikut mengurut dada. Apalagi, peristiwa bullying yang dialami Amin terjadi saat ia masih SD. Sekitar kelas 3 SD.
Lalu, aku berpikir, di mana guru-guru Amin? Bukankah kejadian ini terjadi di lingkungan sekolah? Dan, saat bullying telah diketahui, apa tindakan sekolah dan orang tua untuk mencegah insiden ini terulang?
Okey, sebelum membahas masalah ini, yuk kita kenali bullying dulu?
Apa sih Bullying itu?
Siang itu, aku datang terlambat ke acara pengukuhan Agen Perubahan SMK BLK Bandar Lampung. Aku lupa karena asyik ngobrol dengan siswa terkait kasus bullying yang terjadi kerap terjadi di sekolah.
Sekali lagi, hatiku sedih mendengar lebih dari separuh siswa di kelas pernah mengalami bullying. Hal yang lebih miris adalah perilaku kekerasan ini dilakukan oleh orang-orang yang terdekat dengan korban.
Dan, karena penasaran, seorang anak di kelas bertanya padaku. "Apa sih bullying itu, Bu?
Lalu, aku menjawab pertanyaan siswaku itu berdasarkan teks Modul Fasilitator yang kudapat dari link Kemendikbudristek.
Bullying adalah segala bentuk penindasan atau kekerasan yang dilakukan dengan sengaja oleh satu atau sekelompok orang yang lebih kuat atau berkuasa terhadap orang lain, bertujuan untuk menyakiti dan dilakukan secara terus-menerus.
Apa aja sih Bentuk-Bentuk Bullying itu?
Menurut data Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR 2018), Dua dari tiga anak perempuan dan laki-laki usia 13-17 tahun di Indonesia pernah mengalami paling tidak satu jenis kekerasan dalam hidup mereka. Mengenaskan ya? Apalagi, kekerasan terjadi dilakukan oleh teman sekelas atau kakak kelas di sekolah.
Nah, untuk mencegah hal ini terjadi, kita perlu mengetahui bentuk-bentuk bullying ini.
1. Bullying Verbal
Berupa celaan, fitnah, penggunaan kata-kata yang tidak baik untuk menyakiti orang lain. Biasanya sih, seorang bully mengatakan kata-kata yang bersifat merendahkan atau menghina, seperti: bodoh, tolol, dan sebutan sejenis.
Bully menggunakan alasan atau tanpa alasan untuk mem-bully korban pada orang yang mereka anggap lebih lemah, rendah, atau minoritas, seperti: adik kelas, anak yang terlihat lemah dan culun, dan lain-lain.
Ironisnya, alasan bully adalah bercanda, main-main, atau sekedar ingin mengerjai korban. Bully ingin terlihat keren atau disegani di antara teman-temannya.
2. Bullying Fisik
Seperti yang pernah dialami Amin, bentuk bullying ini dapat berupa pukulan, tendangan, tamparan, meludahi, atau segala bentuk kekerasan lain yang menggunakan fisik.
Bully biasanya akan tertawa senang saat korban merasa takut, menangis, atau terluka.
Lalu, aku pun berpikir, apakah kita termasuk bully saat kita tertawa melihat orang kesusahan? Ah, jadi ingat sebuah film bully deh. Film yang membuatku merenung tentang perilaku kita sehari-hari.
3. Bullying Relasional
Pernah mengucilkan, mengabaikan, atau mencibir temanmu? Kalau pernah, itu artinya kita pun seorang bully. Karena, sikap-sikap tersebut termasuk dalam tindakan untuk mengasingkan seseorang dari komunitasnya.
Padahal, kita harus menyadari perilaku nggak menyenangkan tersebut bisa berakibat fatal bagi penyintas.
4. Cyber Bullying
Kisah keluarga Ayu Ting Ting bisa dijadikan contoh kasus cyber bullying. Kekerasan yang dilakukan haters di dunia digital ini telah mengganggu kehidupan keluarga Ayu di dunia nyata.
Aku bahkan pernah mendengar korban cyber bullying bunuh diri, karena nggak kuat dengan tekanan yang ia terima.
Sebut saja Amanda Todd (15 tahun) yang bunuh diri di rumahnya di Kanada, karena telah di-bully di media sosial selama 3 tahun.
Nah, cyber bullying ini merupakan segala tindakan yang dapat menyakiti orang lain dengan sarana media elektronik (rekaman, video), intimidasi, pencemaran nama baik lewat media sosial, adalah kejahatan pidana yang berbahaya.
Kejahatan yang harus dihentikan bagaimana pun caranya.
Apa yang harus dilakukan Guru/ Orang Tua saat mengetahui perilaku Bullying di sekolah?
Beberapa orang tua pasti bingung kenapa peristiwa bullying ini bisa terjadi di lingkungan sekolah. Bagaimana peran pengawasan guru hingga perilaku kejahatan ini berlangsung di tempat yang seharusnya aman bagi anak-anak.
Dan, anehnya, ada kasus viral tentang guru yang menyebarkan perilaku bullying di kelasnya. Hingga, para orang tua mempertanyakan kesehatan mental dari guru tersebut.
Memang, nggak bisa dipungkiri bahwa tugas guru itu nggak hanya mengajarkan materi pembelajaran agar anak kompeten di bidang yang mereka tekuni. Seorang guru pun harus mampu mengawasi, memberi contoh, membimbing, dan mengajak anak-anak diskusi tentang masalah-masalah yang terjadi di sekitarnya untuk mencari solusi terbaik.
Sepertinya, tugas guru itu hanya cocok untuk manusia super, ya?
Sayangnya, guru pun memiliki banyak keterbatasan. Sehingga, guru di sekolah nggak bisa kerja sendiri. Dibutuhkan lebih dari sekedar support dari semua stakeholder yang terlibat di sekolah untuk ikut mengawasi anak-anak bangsa ini.
Kisah Amin, misalnya, yang terjadi di sekolah saat istirahat pun nggak diketahui guru. Saat itu pun Amin belum berani bicara. Untungnya, ia kini sudah mulai berani bicara untuk mencegah peristiwa serupa terjadi pada orang lain.
Dan, apa yang harus guru/ orang tua lakukan saat anak menjadi bully?
1. Ajak anak bicara
Sebagai guru/ orang tua, kita harus mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Hingga, kita bisa mencari jalan keluar masalah anak.
2. Cari penyebab
Setelah anak bercerita tentang perbuatannya, kita bisa menanyakan penyebab perilakunya tersebut. Biasanya, rasa iri, insecure anak atas kegagalan yang pernah ia alami àdalah salah satu penyebab bully mem-bully korban.
3. Posisikan diri untuk menolong anak. Bukan menghakimi. Karena, seorang bully bisa jadi seorang anak yang butuh pertolongan kita. Itu sebabnya, butuh kesadaran dan kasih sayang agar anak memahami bahwa yang ia lakukan itu tidak baik.
4. Ajarkan anak empati
Saat mengajak anak bicara, kita bisa menggambarkan padanya jika posisinya dibolak-balik. Tanyakan padanya, jika ia di posisi korban, teman korban, atau keluarga korban. Bagaimana rasanya?
Kita bisa memberi contoh tentang bagaimana orang yang berbuat tidak baik akan merasa nggak bahagia dalam hidupnya.
Dan, bagaimana orang baik akan hidup bahagia di mana pun ia berada.
5. Ajarkan anak untuk mengarahkan energi nya
Sebenarnya, anak yang melakukan bullying tersebut memerlukan bimbingan kita untuk menyalurkan energinya ke kegiatan positif.
Biasanya, anak-anak itu merasa gagal di sekolah. Hingga, mereka mengalihkan kemarahan dan kekecewaannya pada orang yang ia anggap lebih lemah secara fisik.
So, kita bisa membimbing anak-anak tersebut di aktivitas fisik, seperti: karate, tinju, silat, dan lain-lain. Harapannya, dengan aktivitas fisik yang membutuhkan disiplin seperti takwondo, si anak akan berubah jadi anak yang lebih baik.
6. Konsisten dengan aturan
Sebagai guru/ orang tua, kita harus konsisten dengan aturan yang sudah dibuat bersama anak.
Kita bisa menerapkan aturan yang tegas dan mendidik agar anak memahami konsekwensi perbuatan yang ia lakukan. Misalnya, anak tersebut dapat meminta maaf atas perbuatannya dan berjanji untuk nggak mengulangi kesalahan tersebut.
Kita juga dapat menyampaikan risiko pidana kejahatan bullying.
Dasar Hukum Pidana Perbuatan Bullying
Aspek hukum perlindungan anak UU Perlindungan Anak pasal 76C UU No.35 Tahun 2014.
Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak.
Lalu, ancaman hukuman pidana bullying adalah penjara paling lama 3 tahun 6 bulan atau denda Rp72.000.000.00 seperti tercantum pada Pasal 80 (1) UU No. 35 Tahun 2014.
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76C dipidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000.00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
Menurutku, ancaman hukuman bullying ini dapat jadi salah satu alat pencegahan perilaku perundungan di sekolah.
Menjauhkan Anak dari Bullying
Sebagai guru, aku menyadari keterbatasanku untuk membimbing atau membantu anak mengatasi masalah dalam hidupnya. Seorang anak dituntut untuk mampu mengatasi masalahnya sendiri.
Nah, sebagai guru dan orang tua siswa di sekolah, kita dapat membantu menumbuhkan sikap-sikap mental yang dapat jadi modal anak mengatasi masalahnya sendiri.
1. Membangun rasa percaya diri anak
Dengan ràsa percaya diri yang baik, anak akan dapat mengatasi masalah dengan lebih baik. Dan, jika ia mengalami bullying, anak tersebut akan berani menegur atau melaporkan pada guru di sekolah.
Cara membangun percaya diri anak adalah dengan mengapresiasi setiap perbuatan pisitif si anak, baik berupa pujian atau senyuman. Pujian atau apresiasi positif guru akan menguatkan rasa percaya diri anak.
2. Memupuk keberanian dan ketegasan
Kita bisa memupuk keberanian anak dengan mengajaknya ikut berpartisipasi dalam kegiatan organisasi sekolah, seperti: pramuka, osis, dan lain-lain.
Kegiatan-keguatan tersebut akan melatih rasa percaya diri anak untuk berani dan tegas dalam bertindak. Anak akan lebih bertanggungjawab dan disiplin dalam kehidupan sehari-hari di sekolah.
3. Kembangkan kemampuan sosialisasi anak
Selain mengikuti kegiatan eskul di sekolah, anak juga dapat mengikuti kegiatan di luar sekolah sesuai minat dan hobi, seperti: mengikuti komunitas baca, komunitas bola, dan lain-lain.
Aku yakin, dengan keikutsertaan anak dalam kegiatan positif di lingkungan yang baik, anak dapat mengadopsi cara berpikir dan bertindak positif.
4. Ajarkan etika terhadap sesama pada anak
Menurutku, cara terbaik mengajarkan etika pada anak adalah memberi contoh yang baik. Misalnya, bicara yang sopan pada siapa saja atau ucapan terima kasih pada siapa pun yang berbuat baik pada kita.
Dengan kata lain, kita sampaikan pada si anak untuk memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan.
5. Berikan teguran mendidik pada anak jika anak melakukan kesalahan
Aku sering memperhatikan cara guru BK menegur siswa dengan lembut. Menasihati anak dengan sabar saat anak lalai dan berbuat salah.
Lalu, guru Bimbingan Konseling itu mengajak anak itu untuk berpikir kritis. Menggarisbawahi dan menjelaskan kesalahan dan konsekwensi perbuatan si anak. Ia mengajarkan anak tentang arti bertanggungjawab pada diri sendiri.
Selanjutnya, pendampingan berkelanjutan dengan memanggil orang tua si anak dan pengawasan berjenjang pada anak akan menyadarkannya bahwa semua orang memperhatikannya. Menyayanginya.
Harapannya, kepedulian pada anak tersebut dapat menjadikannya anak yang dapat berpikir dan bertindak positif.
6. Tanamkan nilai-nilai keagamaan
Nah, kupikir pendidikan agama sejak dini pada anak adalah bagian terpenting dalam tumbuh kembang mental anak.
Anak dipercaya akan lebih tenang dan stabil secara emosi jika kita menanamkan rasa cinta pada Tuhan, Nabi, dan Keluarga Nabi, serta guru-guru agama yang baik.
Ulama atau pemuka agama yang dapat memberi contoh teladan perbuatan baik untuk dapat ditiru anak dalam kehidupan sehari-hari.
Mengajak anak mengaji kitab suci, bersedekah, ibadah shalat, mengunjungi orang sakit, takziah tetangga yang meninggal, dan menemui orang-orang shaleh di sekitar tempat tinggal adalah beberapa aktivitas yang dapat menginspirasi nilai-nilai kebaikan yang ada dalam diri anak.
7. Dampingi anak untuk menyerap informasi
Pesatnya kemajuan teknologi digital akan mendorong rasa ingin tahu anak untuk mengetahui apa pun yang ditawarkannya.
Teknologi yang memudahkan anak mengakses informasi, baik berupa teks, graphics, atau audio-visual. Kemudahan yang nggak hanya mempromosikan hal baik, tapi juga hal yang kurang baik untuk dikonsumsi anak, seperti: pornography, game online dan berita kriminal.
Informasi yang jika ditonton anak, dikhawatirkan dapat mengganggu kemampuan berpikirnya. Seperti siswaku yang bernama Obi yang kecanduan game, hingga ia sering tertidur dan malas di kelas.
Sementara, anak lain yang mengaku sering menonton film porno, kuperhatikan nggak lagi suka belajar. Ia lebih suka bolos di jam pelajaran dan ngobrol dengan teman-temannya di kantin. Perilaku yang mengganggu kemajuan belajarnya.
Saat kutanya alasan ia menontonnya, anak itu menjawab, "Iseng aja, Bu. Saya tahu dosa, Bu. Tapi, kok jadi penasaran. Lagipula, orang tua saya nggak peduli, kok.."
Lalu, kami pun mengobrol. Aku menjelaskan akibat buruk atas tontonan tersebut bagi nilai akademisnya, karena tontonan itu hanya untuk orang dewasa.
Sejak itu, aku menanyakan kabarnya. Alhamdulillah. Nilai akademisnya sudah lebih baik dan ia sudah lebih betah di kelas.
Kasus anak tersebut makin menyadarkanku bahwa pendampingan anak dalam menyerap informasi adalah hal penting yang nggak boleh dilewati. Apa pun alasannya. Paling tidak, kita harus dapat mengawasi, mengontrol, dan mendiskusikan informasi yang anak peroleh.
Meski mengawasi aktivitas digital anak itu bukan pekerjaan mudah, aku percaya, komunikasi yang baik antar anak dan guru atau anak dan orang tua akan menjadi polisi terbaik bagi anak. Hingga, anak akan berpikir kritis dalam memilih informasi yang ingin ia ketahui dan ending-nya adalah si anak akan menjadi pribadi yang mencerminkan kwalitas dari Pelajar Pancasila. Semoga.
Sumber data:
Komentar
Posting Komentar