Review Buku Homage to Catalonia: Antara Perang dan Cinta

Review-buku-homage-to-catalonia-karya-george-orwel

Judul Buku. : Homage to Catalonia

Penulis.        :  George Orwell

Tebal Buku. :   368   Halaman

Penerbit.     :  Secker and Warburg

Genre.         :  Biografy

Berbeda dengan karya Khaled Hosseini's  Kite Runner, karya Orwell yang berjudul Homage to Catalonia ini mengambil latar perang dari sudut pandang seorang jurnalis.

Mungkin hal itulah yang menjadikan Homage to Catalonia ini terasa tajam. Penulis yang menjadi tokoh aku seolah jadi pengamat yang terlibat langsung dalam setiap kejadian yang terjadi di sekitar. Ia bisa melukiskan setiap desah napas, lekuk garis wajah, hingga sudut terkecil dari sebuah ruangan atau tempat yang ia lihat. 

Orwell nggak melewatkan semua itu. 

Meski Orwell menggunakan sudut pandang orang pertama, aku merasa ia seperti seseorang yang terpisah. Seorang penonton yang jeli. Peneliti yang konsisten. Merekam setiap detail emosi manusia lewat panca indranya dan menuangkannya dalam kata-kata.

Orwell melukiskan dengan jelas bentang antara cinta dan perang dalam Homage to Catalonia, hingga kita merasa seolah terlibat di tengah kecamuk perang saudara di Spanyol ini.

Perang yang menyisakan nggak hanya luka fisik, tapi juga mental. Ketakutan, kelaparan, dan kemarahan atas ketidakadilan yang terjadi.

Sinopsis Homage to Catalonia


Aku menarik napas. Aroma persamaan hak dan kebebasan yang digaungkan memenuhi udara. Semua setara. Nggak ada lagi budak.

Seorang manusia akan bertindak layaknya manusia. Di semua tempat cukur rambut, yang sebagian besar anarkis, terpajang spanduk yang mengajak prostitute untuk berhenti menjadi prostitute. 

Spanduk yang nggak dianggap sama sekali.

Sedangkan mataku masih bisa melihat antrian panjang untuk mendapatkan roti. Dan, istri-istri yang menjadi pelayan. Ia nggak sering melihat wanita bersisian dengan pria membawa senjata seperti dulu.

Saat ia menjadi militia, seringkali sekeranjang roti dibuang begitu saja. Hal yang aneh mengingat banyak orang yang membutuhkannya.

Para pemuda yang bergabung milisia pun nggak mengerti apa pun tentang perang. Hatiku terenyuh mengetahui usia mereka yang begitu muda. Sekitar 16 sampai 17 tahun. 

Begitupun dengan alasan anak-anak muda itu bergabung dalam milisia. Para orang tua berharap dengan gaji. Dan, anak-anak itu pun dapat menyelundupkan roti untuk dibawa pulang.

Aku merasa perang ini seperti lelucon saja. Kami lebih sering bergelut dengan rasa dingin dan gelap. Hingga, sebatang lilin pun terasa mewah.

Tentara POUM (Partai Perserikatan pekerja Marxis)  sama sekali nggak dibekali kemampuan bersenjata. Kekurangan senapan, menjadikan tentara bergantian menggunakan satu senjata. Hingga, tentara-tentara baru  hanya berkesempatan berlatih baris- berbaris sepanjang hari.

Berulang kali aku mendekati  Lieutenant terkait senjata mesin yang seharusnya mereka miliki. Hingga, sang lieutenant pun enggan ia dekati.

Suatu ketika, aku mencoba sebuah senapan. Anak-anak muda itu terkesima memandanginya. Mereka belum pernah melihat senjata. Apalagi memegang dan menggunakannya. Ironis.

Lalu, bagaimana mereka menghadapi perang ini?

Aku masih berusaha keras mempelajari bahasa Spanyol. Hanya ada satu orang Inggris, dan sedikit orang yang berbahasa Perancis. 

Lalu, perang yang terlihat ini seperti lelucon saja. Kami lebih sering terluka oleh peluru nyasar. Bukan karena bentrokan senjata sebenarnya seperti yang diharapkan para milisia ini. Dan, bayangan perang itu berbeda. 

Kami lebih sering berperang dengan kutu-kutu yang hidup di balik baju. Kutu-kutu yang bertelur di lipatan jahitan celana. Kutu-kutu itu nggak akan bercokol di baju kecuali kami mandi di sungai yang keruh dan dingin membeku. Aku nggak akan mau melakukan itu.

Selain kutu, kami akan sulit menikmati tiga kemewahan yang sederhana sebelum ikut perang ini. Pertama rokok, kedua sabun, dan ketiga lilin. Bahkan, sekedar sekotak biskuit kiriman istriku pun disita.

Saat tanganku terluka, aku pun dirawat selama 10 hari di Sietamo di rumah sakit yang ada di Monfiorite. Di rumah sakit  semua milikiku dicuri termasuk kamera dan photo-photoku. Akibat kekurangan, tak heran pegawai rumah sakit menjadi orang-orang terburuk.

Bahkan di Barcelona, seorang kolumnis Amerika yang terluka, dicuri jam tangannya oleh petugas pengangkat stretcher.  Orang-orang yang seharusnya menyelamatkan orang terluka, justru jadi pencuri.

Selanjutnya, seperti lagu lama perang, kamu akan dapati tikus di mana-mana. 
There are rats, rats. Rats are big as cats in the master's store! ( Di mana-mana ada tikus. Tikus sebesar kucing di gudang majikan! )
Perang yang melibatkan Anarchist dan fascist ini sungguh melelahkan.

Kelebihan Buku Homage to Catalonia


Seperti buku Orwell yang lain, buku yang bercerita tentang perang saudara di Spanyol ini mendapatkan review cukup baik dari pembacanya.

Aku sih suka dengan cara Orwell bertutur. Kejujurannya menggambarkan ketimpangan sosial di sekitarnya. Seolah menghidupkan sejarah dalam tulisannya. Hingga buku Homage to Catalonia ini jadi buku Orwell yang keempat yang kubaca setelah Burmese Day, Animal Farm , dan Down and Out of Paris and London.

Membaca buku Homage to Catalonia ini  menyadarkanku bahwa  perang itu nggak memberi keuntungan bagi siapa pun.

Aku pun memahami, bagi rakyat yang biasa tertindas, perang nggak menawarkan apa pun kecuali rumah majikannya yang hancur. Atau melihat seseorang bertubuh gemuk sedang menikmati tumpukan makanan enak, sedangkan sekelompok anak-anak mengemis makanan di balik tembok kaca.
"No one except George Orwell... made the violence and self-dramatization of Spain so burning and terrible." (Alfred Kazin, New York Times)

Dan, seperti buku-bukunya yang lain, buku ini juga membangkitkan kesadaran kita tentang bahaya perang, kepedulian pada sesama, dan keadilan sosial.

Bukan persamaan hak yang mungkin akan menimbulkan masalah, karena penafsiran yang berbeda. Sesuai kepentingan. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Bullying dan Pencegahan Bullying di Lingkungan Sekolah

Keseruan Kunjungan Industri Jakarta Jogja SMK BLK Bandar Lampung 2022

PERSEPOLIS COMIC REVIEW: The Story of Childhood