Review Novel Fahrenheit 451
Meskipun terbalut rasa takut, kita nggak pernah berhenti hidup. Meski masa depan nggak pasti, kita terus berusaha untuk bangun tidur. Setiap hari mencari-cari alasan untuk menghadapi kehidupan yang terlihat menarik dari luar.
Seperti seorang Montag dalam buku ini. Ternyata, rasa bahagia yang ia rasakan hanya berbalut asap. Lalu, menghilang saat seorang gadis dengan semangat muda dan kejujurannya mengobrak-abrik apa yang ia percaya selama ini.
Kisah Montag ini seperti cerita masa depan. Tentang orang-orang yang hanya bicara tentang kebendaan. Terperangkap apa yang mungkin disebut sebagai trend masa kini. Hingga, lupa untuk sekedar bertanya, "Apa kabarmu?" Lalu, kamu pun akan menjawab. "Aku nggak baik-baik saja."
Ah, mungkin kamu sudah tahu ya? Gimana seorang Bradbury yang seolah peramal. Bercerita tentang masa depan. Seperti buku The Illustrated Man yang pernah kubaca. Hari esok yang tak pernah kita tahu. Lalu, terbenam oleh keinginan hari ini dan esok yang nggak ada batas. Lupa, hal sederhana seperti meneguk air hujan pun menyenangkan.
Sinopsis Novel Fahrenheit 451
Sebagai seorang firemen, Montag bahagia dengan pekerjaannya. Menikmati semuanya. Membakar buku-buku hingga jadi abu. Setelah menyelesaikan tugasnya, ia melepaskan pelindung kepala dan overall-nya. Lalu, mandi. Membersihkan sisa pembakaran di tubuhnya.
Berbeda dengan firemen masa lalu yang tugasnya memadamkan api, firemen sekarang tugasnya menyulut api. Membakar buku-buku di rumah yang menyembunyikannya. Dan, rumah sekarang pun fireproof. Hanya buku-buku saja yang akan terbakar.
Usai mandi, Montag pun berganti pakaian. Lalu, sambil bersiul berjalan menuju rumahnya. Dalam perjalanan itu, Montag bertemu dengan Clarisse McClellan. Gadis berusia 17 tahun yang gaya bicaranya lebih tua dari usianya.
Meskipun merasa terganggu dengan pertanyaan dan rasa ingin tahu Clarisse, Montag selalu menanggapi ucapan gadis itu. Clarisse bercerita tentang pamannya. Dari pamannya itulah, Clarisse menanyakan tentang apa pun di sekitarnya.
"Kamu berbeda dengan orang lain yang kukenal," katanya. "Biasanya orang akan pergi saat aku bertanya. Kamu tidak. Kamu mau mendengarkan." Montag hanya terdiam. Dadanya terasa terhimpit.
Mungkin, itu sebabnya. Seperti kata Beatty, semua orang ingin bahagia. Jadi, sudah seharusnya menghilangkan apa yang mengganggu. Membakarnya.
"... let's not quibble over individuals with memorians. Forget them. Burn all, burn everything. Fire is bright and fire is clean." (page 59)
Ia pun membuka pintu rumahnya. Mendapati wajah kosong Mildred. Dua bola matanya bagai dua lubang hampa. Montag melihat botol obat yang sudah hampir kosong. Dengan dada berat, Montag meminta bantuan.
Sementara petugas membuang racun di tubuh istrinya, Montag hanya menatap kedua petugas itu. Mereka asyik mengobrol sambil menghisap rokok. Seolah pekerjaan itu sekedar membersihkan benda mati.
Saat Montag menanyakan hal itu, mereka menepisnya. Kenapa harus repot dan menghabiskan uang, jika bisa dikerjakan oleh mesin yang efisien ini?
Setelah selesai, mereka pulang. Montag melihat pipi Mildred telah kemerahan. Seolah tak pernah terjadi apa pun. Montag lega. Ia pun bekerja seperti biasa. Namun, Montag merasa mesin yang ia gunakan seolah ingin menyerangnya. Gugup, Montag bercerita pada Kapten Beatty Ridley.
Mengetahui peristiwa itu, teman-temannya khawatir. Dan, berhari-hari bertanya tentang mesin itu.
Hari itu Montag bertemu lagi dengan Clarisse, ia menanyakan apakah Montag sudah memperhatikan sekitarnya. Apakah Montag pernah merasakan air hujan? Saat berpisah, Montag pun menengadahkan wajahnya ke langit. Merasakan air hujan jatuh ke wajah dan mulutnya. Montag nggak tahu, hari itu adalah perjumpaan terakhir mereka.
Seperti biasa, malam itu alarm di kantor berbunyi. Mereka pun bergegas menunaikan kewajiban. Membakar buku.
Di rumah itu, Montag bertemu dengan seorang wanita. Ia nggak mau berpisah dengan buku-bukunya. Beatty, Stoneman, dan Black telah menyiramkan kerosene di buku-buku itu. Beatty mengancam akan membakarnya bersama buku-bukunya. Tapi, wanita itu nggak peduli.
Dalam perjalanan pulang, mereka nggak bicara. Tenggelam dalam diam. Montag pun menapaki rumahnya yang gelap. Tubuhnya sakit. Sudah beberapa hari ini ia nggak bertemu Clarisse. Pikirannya kalut dengan ucapan wanita yang telah mereka biarkan terbakar itu.
Dalam gelap Montag masuk ke kamarnya. Ia dapat mendengar gumaman istrinya. Menyanyikan lagu dari alat yang menempel di telinganya. Montag merasa dingin. Seolah semuanya asing baginya.
Pertengkaran dengan Mildred terkait TV yang seolah jadi keluarganya. Mildred ingin mengupgrade TV 3 dimensinya menjadi 4 dimensi. Padahal baru tiga bulan lalu upgrade dilakukan. Dan, biayanya menghabiskan hampir sepertiga gajinya.
Montag meletakkan buku yang ia curi di bawah bantalnya yang dingin. Lalu, ia menutup kakinya hingga ke dada dengan selimut. Montag berniat cuti malam itu.
Mengetahui keadaan Montag, Beatty pun mengunjunginya. Mildred yang gugup berusaha memperbaiki posisi bantal Montag. Ia kaget menemukan buku di situ.
Nah, bagaimana kisah selanjutnya? Bagaimana nasib Montag selanjutnya?
Alasan Firemen Membakar Buku dalam Novel Fahrenheit 451
Seperti rasa takut akan virus Covid 19, mungkin kita pun bisa mempelajari alasan buku-buku dibakar. Ketakutan akan perbedaan. Konflik. Rasa tidak bahagia.
"Colored people don't like Little Black Samba. Burn it. White people don't feel good about Uncle Tom's Cabin. Burn it...... The cigarettes people are weeping. Burn it. Serenity, Montag. Peace, Montag. Take your fight, outside...." (page 59)
Dengan kata lain, aturan membakar buku-buku yang dianggap dapat mengganggu pikiran masyarat adalah penting. Bahkan, buku-buku agama yang mengingatkan seseorang untuk membatasi kesenangannya pun dibakar.
"If you don't want a man unhappy politically, don't give him two side to a question to worry him, give him one. Better yet, give him none...." (page 60)
Sebagai seorang ilmuwan, Professor Faber pun mengakui sebagai pengecut. Nggak mampu bicara untuk mencegah pemusnahan buku-buku itu. Pria tua yang tanpa sengaja Montag jumpai itu merasa bersalah. Tak berdaya.
Kelebihan Buku Fahrenheit 451
Menurutku, buku-buku Bradbury itu berbeda dengan yang lain. Mungkin itu ada kaitannya dengan gift of story telling, ya? Karyanya pun diakui dan memperoleh pengakuan karena telah membawa modern science fiction ke dalam literally mainstream. Pastinya beda dengan karya Jane Austen yang romantic.
Kalau Austen memperjuangkan kebahagiaan dalam sudut pandang keluarga mapan, Bradbury melihatnya dengan cara berbeda. Ketakutan akan masa depan menjadikan karyanya nggak terduga. Hingga, mungkin menengok masa lalu seolah pilihan lebih baik.
Seperti dalam cerita The Veldt yang mencerminkan ketakutannya akan mesin yang menguasai manusia. Keinginannya untuk mengembalikan hubungan manusia pun tercermin di buku ini. Nggak terbelenggu oleh rasa takut, hingga rela tenggelam oleh bahagia semu.
Nah, gimana menurutmu? Pernah baca buku ini?
#RCO10
#OneDayOnePost
#ReadingChallengeOdop10
#AntiBookShaming
#BacaBukuLegal
Komentar
Posting Komentar