Going Solo: Kehidupan Penuh Petualangan ala Roald Dahl

Pernah merasa bahwa kehidupan ini biasa-biasa aja? Nggak ada petualangan, getaran adrenalin, atau apa pun. Datar aja. Tapi, mungkin yang kamu rasakan dan pikir biasa aja, akan terasa luar biasa bagi orang lain.

Baca juga: Mengenal Bullying dan Pencegahannya

Seperti kehidupan Roald Dahl yang nggak ada bedanya dengan orang lain. Ia makan, minum, dan tidur seperti layaknya manusia biasa. Bedanya adalah ia mampu menceritakan kehidupannya yang penuh petualangan ala Roald Dahl. Nggak heran ia dikenal sebagai seorang pendongeng terkenal. 

Sebut saja beberapa bukunya yang menakjubkan, seperti: Danny the Champion of the World, Dirty Beasts, The Magic Finger, The Giraffe and the Felly and Me, The BFG, and Going Solo.

Buku Going Solo ini merupakan autobiography Roald Dahl. Penulis yang konon mencabut semua giginya dan menggantinya dengan gigi palsu di usia 21 tahun. Kehidupannya yang bebas dan mendebarkan, tergambar di buku Going Solo ini.

Bercerita tentang petualangannya di Inggris dan Afrika dalam rentang tahun 1938-1967. Nah, ingin tahu kisahnya, yuk baca sinopsisnya.


going-solo-kehidupan-penuh-petualangan-ala-roald-dahl


Sinopsis Going Solo Karya Roald Dahl

Kisah dimulai saat Roald Dahl bekerja pada perusahaan Shell. Usianya 22 tahun. Kontrak kerja di perusahaan ini akan memakan waktu 3 tahun. Sepanjang kontrak berlangsung, ia nggak akan bisa pulang ke rumah.

Ia memulai perjalanan di musim gugur tahun 1938 dengan menaiki kapal SS Mantol dari Port of England hingga Mombasa. Perjalanan ini akan menghabiskan waktu selama dua minggu. Waktu yang cukup lama, hingga banyak hal yang bisa terjadi. 

Selama perjalanan, Roald Dahl menjumpai berbagai macam karakter unik yang nggak akan ia temui di seluruh dataran Inggris. 

Di kapal yang memuat beban sekitar 9000 ton itu, ia menemui orang-orang yang berbicara menggunakan bahasanya sendiri. Jika mereka bekerja di Afrika Timur, maka kalimat mereka akan dibumbui dengan kata-kata Swahili. Sebagai contoh, minum sore hari adalah sundowner, minum saat lain disebut chota peg, istri seseorang disebut memsahib dan lain-lain.

"...a thing of beauty is a joy forever.." said Mr. Griffin.

Ia juga bertemu dengan orang-orang aneh yang terkesan bodoh, seperti UN Savory, .Major Griffin dan istrinya, dan Mrs. Trefusis. Ia menggambarkan bagaimana seorang UN Savory yang bisa bertindak aneh dengan wig-nya dan Mr. Griffin dengan sikap eksentriknya. Berlompatan dengan bebas di pagi hari tanpa selembar benang pun. Ada juga Mrs. Trefusis yang seolah terobsesi dengan kebersihan tangan. 

Setelah tiba di tempat tujuan, ia pun tinggal di sebuah rumah bersama pelayan-pelayan berkulit hitam. Ia pun memiliki pelayan pribadi. Mdiso yang berusia 19 tahun.

Kehidupan di Afrika nggak akan lepas dengan bayangan binatang liar yang hidup bebas di sekitarnya. Pertemuannya dengan seekor ular Afrika berbisa hari itu nggak akan terlupakan. Hingga, ia selalu merasa takut saat melihat mahluk melata itu. Selain karena ular Afrika terkenal dengan biasanya, ular ini pun sangat gesit dan cepat.

Lalu, ketenangan hidup pun terganggu saat perang peach di sekitar tahun 1939. Ia memutuskan untuk  mengundurkan diri dari perusahaan dan mengajukan diri sebagai seorang tentara.

Pengalaman pertama memimpin pasukan askari untuk menahan sekelompok orang Jerman adalah pengalaman pertamanya melihat perang di depan matanya. Hal itu mengubah dirinya.

Karena posisinya sebagai tentara pemula, ia nggak bisa mengajak Mdiso. Ia dituntut untuk dapat melayani dirinya sendiri.

 Ia pun memulai training-nya di Nairobi menggunakan pesawat Tiger Moths. Bersama 16 orang lain dari berbagai latar belakang, mereka berlatih menerbangkan pesawat. Pengalaman ini begitu menyenangkan. Ia biasa terbang rendah sekitar 60-70 kaki hingga ia bisa melihat lebih dekat keundahan alam Afrika. Ia bisa melihat langsung kumpulan kerbau, singa, dan binatang liar lain. Pemandangan yang nggak akan ia dapatkan di mana pun.

Petualangannya nggak berakhir, meski ia telah menuntaskan training di Nairobi. Ia harus melanjutkan training-nya di Habbaniya. Sebuah kota di Irak yang nggak akan terbayangkan. Di kota itu ia merasakan hal sederhana seperti jalan beraspal adalah hal yang mewah. 

Lalu, ia pun berkenalan langsung dengan pesawat tempur. Tanpa pelatihan khusus dan pengetahuan rute terbang, ia pun menerbangkan Gladiator. Sialnya, kecelakaan tragis pun terjadi. Nggak ada yang mengira ia akan bertahan hidup. 

Kondisinya begitu mengkhawatirkan. Wajahnya harus menjalani operasi plastic. Dokter pin mengira ia akan pensiun. Nggak akan bisa terbang lagi. Apalagi dengan luka di kepalanya yang parah.  Ia harus dirawat selama enam bulan sebelum keluar dari RS.

Nah, apakah ia dapat bertahan dan kembali melanjutkan karirnya sebagai pilot pesawat tempur? Atau apakah ia akan pensiun dan menjadi penulis? Gimana penasaran kan? Yuk, baca buku ini bareng!

Kelebihan Buku Going Solo Karya Roald Dahl


Menurutku buku ini keren! Aku bisa membayangkan petualangan Roald Dahl saat ia pertama kali menginjakkan kaki di benua hitam ini. Apalagi saat ia harus melihat ular mamba hitam Afrika yang terkenal berbahaya itu. Hiiy, aku nggak mau membayangkan deh! Pasti serem banget.

Bisa kubilang, buku Going Solo ini memberi pandangan baru padaku tentang arti kehidupan. Bagaimana kesempatan untuk hidup itu nggak seharusnya dianggap sepele. 

Berlatar perang dunia kedua yang melibatkan Inggris dan sekutunya melawan Jerman, kisah Roald Dahl ini pun menyadarkanku bahwa rasa kemaƱusiaan dan kasih sayang itu lah yang terpenting dalam hidup.



Judul buku     : Going Solo
Penulis.           : Roald Dahl
Tebal buku.    :  244 halaman
Sumber buku : archive.org
Jenis buku.     : Online book
Bahasa.           : English


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Bullying dan Pencegahan Bullying di Lingkungan Sekolah

Keseruan Kunjungan Industri Jakarta Jogja SMK BLK Bandar Lampung 2022

PERSEPOLIS COMIC REVIEW: The Story of Childhood