Halo teman Yoha, apa kabar hari ini? Semoga selalu sehat dan bahagia. Aamiin.
Sekarang, aku akan bercerita tentang kebaikan kecil yaitu "Budaya Buang Sampah di Tempatnya. Budaya Sederhana Memperbaiki Karakter siswa di era Digital."
Wuih, temanya keren yak wkwk. Tapi, aplikasi di lapangan itu nggak semudah di atas kertas. But, that's how we got the story, right? Orang bilang kan, nggak ada cerita kan nggak seru. Tapi, kok cerita itu baru mencuat kalau beraroma negatif ya? Ah, aku jadi sedih.
Baca juga: Mengenal Bullying dan Pencegahan Bullying di Lingkungan Sekolah
Namun, aku selalu percaya bahwa selalu ada hikmah dari setiap peristiwa. Begitu pun kalau ada masalah terkait kedisiplinan siswa. Anggap aja, kejadian ini pun adalah baik. Bukankah seorang anak akan mengerti kebaikan setelah mengalami keburukan? Ah, pembelajaran yang pahit ya kalau sampai mengalami? Tapi, itulah hidup. Saat menjalani jalan terjal, baru mengerti bahwa jalan lurus dan mulus yang biasa dilewati itu lebih menyenangkan.
Begitu pun kisahku di sekolah hari ini. Mungkin, dalam beberapa tahun ke depan saat aku melihat hari ini, aku akan tersenyum dan berkata, "Ah, anak itu kini sudah dewasa dan sukses. Alhamdulillah."
Untuk itulah, aku menulis tulisan ini. Untuk diriku sendiri dan siswaku hari ini.
Cerita Rokok
Seperti biasa, pagi itu aku masuk ke ruang kelas untuk PPK. Penguatan Pendidikan Karakter atau PPK ini dilakukan setiap pagi oleh wali kelas atau guru BK. Agendanya sih membicarakan tentang budaya baik, seperti buang sampah pada tempatnya, belajar dengan baik, dan taat pada tata tertib sekolah. Budaya baik yang mudah ditulis, tapi penuh tantangan untuk dipraktikkan.
Apalagi, seperti yang kita tahu bahwa sebagian anak laki-laki remaja itu sudah mengenal rokok. Bahkan dari 25 siswa yang semuanya cowok, hanya satu atau dua orang yang tidak merokok. Hingga, warga minoritas ini sering dibilang bukan cowok aka banci. Ucapan standar anak-anak untuk mem-bully temannya agar mengikuti mau mereka.
Sayangnya, mereka nggak sekedar merokok di luar sekolah, tapi sebagian lagi sudah berani merokok di ruang kelas saat istirahat atau jam kosong. Bahkan beberapa minggu lalu, seorang anak dengan berani merokok di kelas saat guru sedang mengajar.
Entah bagaimana itu bisa terjadi. Menurut penuturan wali kelasnya, anak itu memang bermasalah dengan keluarganya di rumah. Hingga, ia mencari perhatian di sekolah.
Untuk menuntaskan masalah ini, wali kelas, guru, dan guru BK pun memanggil orang tua siswa tersebut ke sekolah. Kami pun membicarakan solusi terbaik untuk memperbaiki sifat anak ini. Alhamdulillah, anak tersebut mengaku salah dan minta maaf pada guru tersebut.
Dan, anak itu menangis dong. Rasanya, hati ini geregetan dan kasihan sekaligus. Eh, jujur aja, aku pengin ketawa, tapi kok nggak pas ya? Ah, sudahlah, kutahan aja ketawanya untuk tema lain.
Anyway, ironisnya, guru tersebut malah nggak tahu kalau si anak itu merokok di kelas. Maklumlah, beliau sudah memasuki masa pensiun. Mungkin, beliau terlalu fokus mengajar di depan kelas, hingga tak memperhatikan anak-anak yang duduk di bagian belakang.
Ah, pengin ketawa lagi kok takut dosa ya?
Yah, inilah dilema keadaan di sekolah dengan peserta didik yang mayoritas cowok. Perilaku nggak terpuji seperti lompat pagar, masuk atau keluar kelas lewat jendela, merokok di kelas, berantem, dan membawa senjata tajam adalah masalah yang mengisi tema di ruang guru.
Lalu, anak-anak itu akan membuat geng untuk menyukseskan kebiasaan buruk ini. Indikasi yang meresahkan ini bikin kami merasa khawatir dan bertekad untuk lebih giat menggaungkan kembali budaya baik di sekolah.
Piket di Kelas
"Aku capek ngurus anak-anak supaya piket," lapor temanku sambil duduk di sampingku. "Lalu, dengan kesepakatan anak, kami bayar penjaga sekolah untuk bersih-bersih kelas."
Aku hanya diam mendengar cerita temanku ini. Masalah piket kelas adalah masalah krusial di sekolah kami. Dengan peserta didik yang dominan cowok, masalah piket bisa jadi tema yang bikin wali kelas dan BK sewot seharian. Gimana nggak? Pagi-pagi sudah marah kan mood jadi negatif ya? wkwkwk.
Sayangnya, respon anak terhadap wali kelas yang marah adalah santai aja. Beberapa anak bahkan tersenyum dan tertawa. Hingga, aku khawatir dengan keadaan mental anak-anak ini. Kok bisa, ada orang marah ditanggapi dengan tawa? Eh, pas kudekati, mereka sedang asyik main game dong wkwkwk.
Rasanya kok gemes kalau ingat haha.
Ah, sudahlah, mereka masih anak-anak kan? Lalu, aku mengambil gawai mereka dan meminta siswa yang piket untuk melaksanakan tugasnya. Hari itu pun dimulai dengan wejangan panjang tentang arti melaksanakan tanggungjawab piket di kelas.
Dan, anak-anak diam memandangku dengan tatapan kosong. Yah, gimana? Gawai kan dapat diibaratkan nyawa mereka. Nggak ada gawai, nggak berdaya. Duh!
Lucky me, aku masih percaya bahwa anak-anak itu masih dapat mengubah sikapnya. Toh, perjalanan hidup mereka masih panjang kan? Aku harus tetap sabar dalam membimbing mereka. Karena kalau bukan kita, guru dan orang tua, siapa lagi?
Sementara itu, anak-anak yang piket melaksanakan tugas mereka. Debu mengepul di udara memenuhi ruang kelas. Aku hanya menahan napas sambil mengusap mataku yang berair kemasukan debu.
Makan di Kelas
Selain drama piket, makan di kelas pun bisa jadi masalah buat anak-anak. Bukan. Bukan makan di kelas yang jadi masalah.
Masalahnya adalah anak-anak kerap makan pas ada guru. Nah, itu sih belum seberapa. Kadang, mereka tidak membuang bekas bungkus nasi itu dan membiarkannya ada di laci meja mereka, hingga berhari-hari. Hasilnya, tentu saja bau yang menyengat dan mengganggu di ruang kelas.
Sungguh, keterlaluan ya rajinnya? wkwkwk. Saat ketahuan guru, anak tersebut hanya tersenyum tanpa dosa. Duh, mungkin ini kebiasaan di rumahnya. Entahlah, tapi sejak itu, aku selalu meminta anak-anak mengecek kebersihan kelas dan laci meja sebelum pelajaran di mulai.
Sehingga, aku sudah terbiasa menunggu anak bersih-bersih kelas dulu sebelum pelajaran. Lalu, aku pun berpikir, apakah mereka sengaja mengotori kelas agar nggak belajar? Duh, anak-anak ini..
Untuk mengatasi masalah ini, aku pun diskusi dengan wali kelas dan guru lain. Solusi sederhananya adalah memberi peringatan dan sanksi bagi anak yang laci atau mejanya kotor. Alhamdulillah, perlahan kelas pun mulai terlihat lebih bersih.
Marah dengan Siswa
Sayangnya, sebagaimana lazimnya anak-anak, saat gurunya mulai santai dan nggak cerewet mengingatkan tentang kebersihan kelas, mereka pun lalai. Bahkan beberapa anak harus dihukum lari lapangan, karena nggak piket.
Tentunya, anak-anak tersebut tetap wajib melakasanakan kewajiban piketnya. Tugas yang dengan berat hati mereka lakukan, hingga mereka tidak piket saat gurunya tidak mengawasinya. Lalu, guru tersebut hari lari-lari mengejar anaknya yang kabur ke kelas lain. Ah, pemandangan yang bikin aku geleng-geleng kepala.
So, guru yang capek karena sudah marah-marah sambil mengajar di kelas itu pun ngambek. Marah dengan anak-anak tersebut. Sayangnya, butuh intervensi guru lain agar anak-anak itu mau menemui gurunya dan minta maaf. Kemudian, guru dan siswa pun saling bermaafan dan masalah selesai.
Dan, begitulah, putaran peristiwa di sekolah ini ibarat drama lama yang seperti benang kusut. Berulang terus seperti siang dan malam.
Hingga, dalam doa-doa kami pada Allah adalah agar anak-anak ini dianugrahkan akhlak yang mulia dan dapat berguna bagi agama, bangsa dan negaranya. Doa sederhana yang kami panjatkan sambil tersenyum saat mereka berbaris rapi di setiap pelaksanaan upacara bendera hari Senin.
Kegiatan rutin ini merupakan program sekolah untuk penguatan pendidikan karakter siswa juga. Apalagi, karakter siswa yang baik merupakan salah satu kriteria anak untuk jadi lulusan yang kompeten dan unggul.
Kotemplasi Diri: Kebaikan itu seharusnya nggak dipaksakan
Kata orang bijak, seharusnya kebaikan itu nggak dipaksakan. Begitupun kebaikan untuk membuang sampah di tempatnya.
Budaya baik yang seharusnya sudah dimiliki oleh anak-anak sejak usia dini. Sayangnya, awalnya budaya baik itu pun hadir dari sebuah kebiasaan yang harus dipaksakan. Paling tidak, ada tindakan tegas saat kampanye budaya baik ini dilanggar.
Aku yakin, saat ada penegasan sistematis dan jelas, maka kebaikan sederhana seperti buang sampah di tempatnya bukan hanya sekedar wacana.
Meski begitu, sekolah adalah wadah mendidik anak yang seharusnya menyenangkan buat belajar dan bermain. HIngga, mungkin kita pun nggak bisa terlalu saklek atau terlalu kaku dengan aturan. Seperti kampanye buang sampah di tempatnya ini.
Sanksi boleh diterapkan, tapi kebaikan guru untuk menjadi model yang memberi contoh adalah lebih utama.
Seorang guru dapat memberi contoh akibat dari perbuatan membuang sampah sembarangan. Bahkan guru pun dapat mengajak anak ke daerah yang terkena dampak banjir akibat sampah. Eh, jalan Pembangunan di depan pasar tempel di depan sekolah aja sering banjir, karena genangan sampah. Kadang, anak-anak harus memutar arah agar bisa pulang ke rumah masing-masing.
Ah, tapi mengubah kebiasaan buruk itu emang nggak semudah membalik telapak tangan ya?
Lalu, aku pun teringat kata-kata Dalai Lama ke-14 yang mengatakan begini, "Be kind whenever possible. It is always possible."
Aku memahaminya sih bahwa kita harus terus sebisa mungkin berbuat baik. Termasuk pada anak-anak. Nggak perlu terlalu strict hingga melewati batas seperti peristiwa guru di Natar beberapa waktu lalu.
Aku juga nggak perlu terlalu permissive, hingga anak-anak tidak patuh seperti malin kundang. Tapi, aku bisa bersikap dengan sewajarnya dengan memberi contoh terbaik dariku.
Nah, beberapa tips kampanye buang sampah di tempatnya yang biasa aku praktikkan di kelas adalah
- Membuang sampah yang ada di kelas dan mengajak siswa membantuku. Kupikir dengan melibatkan siswa untuk bersama-sama membuang sampah akan lebih efektif dibanding hanya memberi perintah.
- Membuat aturan bagi pelanggar. Aturan ini berlaku juga bagiku. Jika aku membuang sampah sembarangan, maka aku pun harus melaksanakan sanksi tersebur.
- Diskusi dengan perserta didik tentang dampat membuang sampah tidak di tempatnya. Biasanya anak-anak sudah memahami dampak ini, karena sebagian anak tinggal di daerah rawan banjir di Bandar Lampung.
- Diskusi tentang manfaat pemberdayaan sampah. Aku mengajak anak mencari referensi tentang kesuksesan beberapa sekolah yang telah membuat program bank sampah di sekolah.
- Diskusi tentang program pemberdayaan sampah yang ingin anak kembangkan di sekolah. Anak-anak akan diminta membuat proyek dalam kelompok tentang pemanfaatan sampah di sekolah. Paling nggak, anak-anak akan memahami bahwa peluang sampah untuk memberi nilai ekonomis itu lebih besar asalkan anak-anak kreatif dan mau.
Kampanye Buang Sampah di Tempatnya budaya Sederhana Memperbaiki Karakter siswa di era Digital
"Aku minta anak untuk buang sampah di tempatnya. Eh, dia malah bilang begini, kan bukan sampah aku, Bu." lapor temanku sambil meletakkan buku di meja. Ia pun melanjutkan ceritanya bahwa anak tersebut bahkan masih asyik dengan gawainya saat ia minta untuk buang sampah. Lalu, temanku menunjukkan status si anak yang lagi buang sampah di tempat sampah. Duh, respon si anak ternyata ada di status medsosnya wkwkwk.
Emang ya, di era digital ini, anak-anak lebih intens bergaul dengan dunia maya dibandingkan dengan orang yang ada di dekatnya.
Tapi, ini pun nggak salah kok. Mungkin, perlu ada media yang dapat menjembatani antara anak-anak, gawai, guru, dan orang tua. Yups, jawabannya adalah medsos.
Guru di era digital ini pun harus ikutan main medsos. Kamu tahu, bahwa guru-guru di sekolahku pun sibuk mengawasi akun media sosial anak-anak.
Yah, kami jadi mirip stalker gitu lah wkwk. Nggak heran, kami pun jadi tahu si anak ini pacaran dengan siapa, putus, atau lagi galau. Kami juga tahu mereka lagi makan apa dan di mana.
Ya, gimana nggak? Apa-apa kan di update di media sosial. Lucunya lagi, temanku pun sering bercanda dengan siswa dari wali kelas lain yang berpacaran dengan siswa di kelasnya. Duh, seru juga wkwkwk.
Anyway, lewat media sosial juga lah kupikir, guru dapat kampanye tentang berbuat baik seperti buang sampah pada tempatnya. Asyiknya, tim IT sekolah pun cukup kreatif untuk membuat meme yang menarik. Meski ia mungkin mengadopsinya dari googling, anak-anak terlihat terpengaruh. Alhamdulillah.
Tantangan untuk Konsisten
Ah, normal banget ya kalau tiap diri punya kelemahan. Aku juga gitu kok. Nggak sempurna wkwk. In case, ada yang nanya hehe.
Anyway, salah satu tantangan terbesarku untuk melaksanakan kampanye ini adalah diri sendiri. Rasa malas dan bosan itu sering singgah. Ditambah beban ngajarku di semester ini yang 33 jam. Wow, banget ya wkwkk. Entah kenapa aku dapat jam ngajar sebanyak itu. Padahal guru lain ada yang kurang dari 24 jam. Tapi, ya sudahlah. Toh, aku juga menjalaninya dengan santai hehe.
So, aku sih punya tip sederhana untuk melawan rasa malas yang hinggap saat aku cape mengajar, yaitu:
- mengingat kembali tujuan utamaku sebagai seorang pendidik
- mengingatkan diri bahwa anak adalah amanah Allah yang harus kubimbing dengan baik
- rehat sejenak kalau terlalu cape. Lalu, kembali semangat melanjutkan pekerjaan
- bergaul dengan teman sejawat yang positif
- diskusi positif dengan rekan yang lebih berpengalaman
- mengajak anak terlibat dalam semua kegiatan. Kalau ada lomba terkait kelola sampah, aku akan mendaftarkan peserta didikku.
Singkatnya sih, aku akan selalu mencari alasan untuk terus konsisten dengan kampanye baik ini. Midah-mudahan usaha ini nantinya dapat bermanfaat bagi peserta didik di kehidupannya.
Kebaikan itu mudah
Kelasnya enak ya, kalau bersih. Itulah komentar anak-anak yang sudah mulai terbiasa piket dan membuang sampah di tempatnya. Mendengar ucapannya, aku hanya tersenyum sambil mengambil sampah permen yang ada di lantai. Anak yang melihatku bilang, biar aku aja yang buang, Bu.
Ah, hatiku rasanya hangat. Memang, kebaikan itu mudah kalau dilakukan dengan ikhlas ya.
Nah, gitu ceritaku. Gimana dengan ceritamu?
Komentar
Posting Komentar