Delay of Gratification dapat Menumbuhkan Kebiasaan Positif Pada Anak
Bel masuk di kelas sudah berbunyi. Sementara anak-anak masih sibuk dengan gawainya. Tidak mengindahkan aku yang sudah ada di kelas. Lalu, saat ketua kelas menyiapkan kelas untuk berdoa bersama, anak tersebut masih belum mematikan gawainya. Sibuk dengan kesenangan bermain game online.
Aku pun menghampiri anak itu. Saat sudah ada di depannya, anak tersebut baru tersadar. Lalu, sesuai kesepakatan, ia meletakkan gawainya di tanganku.
Yup, aku sudah membuat perjanjian belajar bahwa hanya boleh menggunakan gawai saat istirahat atau proses pembelajaran yang membutuhkan gawai dengan pengawasan guru. Dan aku akan mengembalikan gawai setelah kelas usai dengan perjanjian tertulis agar siswa tidak mengulang pelanggaran ini lagi.
Upaya ini aku lakukan agar anak memahami pentingnya menunda kesenangan untuk mendapatkan hasil yang lebih baik.
Dengan fokus belajar dan tidak bermain game saat proses pembelajaran berlangsung, anak dapat menyerap dan belajar mempraktikkan ilmu yang dipelajari di kelas. Nantinya, kompetensi yang dipelajari dapat memudahkan anak dalam bekerja di dunia usaha atau berwirausaha.
Karena itulah, kupikir delay gratification dapat menumbuhkan kebiasaan positif pada anak.
Sebelum lanjut diskusi tentang isu ini, mungkin kamu belum tahu tentang delay of gratification ya? Yuk cek dulu pengertiannya.
Pengertian Delay of Gratification
Delay gratification adalah usaha menahan diri dari kesenangan demi mendapatkan kesenangan yang lebih besar. Contohnya adalah seorang anak yang menunda atau menahan diri bermain gawai saat proses pelajaran agar dapat belajar dengan baik.
Harapannya dengan proses pelajaran tanpa distraction, anak bisa fokus belajar. Seperti Ari, alumni tahun 2015 yang kini sukses sebagai entrepreneur. Dulu ia dikenal sebagai siswa yang fokus belajar.
"Ibu saya seorang asisten rumah tangga. Jadi, saya harus tekun belajar supaya bisa bikin orang tua bangga," katanya saat curcol pada bu Retni. Guru Bahasa Indonesia yang saat itu mengajar dengan tema teks narasi di kelas.
"Lebih baik menahan diri sekarang dengan nggak kebanyakan main. Tapi, sukses dapat kerja enak nantinya," tambahnya lagi. Aku masih ingat ucapannya, karena dulu aku wali kelasnya. Ah, kata-kata sederhana itu bikin aku tersenyum saat melihatnya sukses jadi embassador perusahaan tempat ia bekerja dan dapat bonus jalan-jalan ke Singapura.
Delay of Gratification menumbuhkan kebiasaan positif pada anak
Aku sih bukan melarang siswa di kelas untuk menggunakan gawai, karena aku sadar bahwa peran gawai di era digital ini cukup signifikan.
Namun, sebagaimana anak-anak yang suka bermain, mereka masih membutuhkan bimbingan orang tua atau guru untuk mengawasi dan mengingatkan saat mereka melakukan aktivitas yang berlebihan, seperti: main game semalaman atau saat proses pembelajaran berlangsung.
Jujur aja, kadang aku suka iseng ngobrol dengan anak. Pengin tahu apa sih yang mereka pikirkan tentang isu-isu tertentu di sekolah, seperti: tawuran, geng motor, atau delay of gratification.
Beberapa anak kutanya tentang main game. "Tapi kalau kebablasan dan nggak tidur, pas sekolah ngantuk. Lalu, dimarahi guru dan dapat nilai jelek. Akhirnya, gawai disita."
"Jadi, artinya kalian boleh main tapi dibatasi waktunya?" tanyaku yang masih penasaran dengan pendapat mereka.
"Iya, bu," kata seorang anak yang duduk di belakang. Kalau nggak salah, namanya Riki. "Paling tidak, tugas rumah dan sekolah harus sudah beres."
Aku tersenyum dan mengangguk saat mendengar jawaban polos Riki.
"Kalau ibu guru sampai lapor ke bapak saya, bisa-bisa gawai dan motor disita. Trus, saya naik ojek dan gak pegang hape lagi." Riki menambahkan sambil menunduk. Sepertinya ia teringat ancaman ayahnya di rumah.
Sementara anak lain mengatakan begini, "Kalau aku dapat nilai bagus, ibu akan membelikan motor," kata seorang siswa yang tidak pernah main game di kelas. "Aku mainnya pas libur aja, Bu. Pingin fokus belajar."
Mendengar pengakuannya, aku pun menyadari kalau nilai siswa ini cukup baik. Meskipun prestasinya biasa saja, nilainya masuk dalam kategori 3 besar. Ia juga fokus dengan pekerjaannya dan bertanggungjawab. Dalam bayanganku, kelak anak ini akan jadi salah satu entrepreneur keren di Lampung. Aamiin.
Cara guru memanfaatkan delay of gratification untuk menumbuhkan kebiasaan positif pada anak dalam kegiatan di sekolah
1. Kegiatan PPK (Penguatan Pendidikan Karakter) yang dilakukan wali kelas setiap pagi sebelum pelajaran dimulai. Biasanya wali kelas akan mengabsen peserta didik, menanyakan keadaan siswa yang hadir dan nggak hadir, serta memberi nasihat sesuai isu yang lagi hangat. Wali kelas juga memberi motivasi anak agar semangat dalam belajar.
Dalam program PPK ini, anak-anak menahan diri untuk tidak mengobrol dengan teman, main gawai, atau makan. Mereka akan menjadi peserta didik yang disiplin dan berakhlak mulia.
2. Kegiatan eskul pramuka. Dengan kegiatan eskul ini, anak-anak belajar disiplin, kerja sama, berpikir kritis, dan lain-lain. Mereka menunda kesenangan bermain untuk mengikuti kegiatan eskul. Hasil dari kegiatan ini adalah anak-anak akan memiliki teman baru dan wawasan luas.
3. Kegiatan mengumpulkan gawai pada guru saat ujian. Menahan diri untuk tidak memegang gawai, agar peserta didik dapat sukses dan lulus ujian.
4. Kegiatan latihan upacara bersama. Sementara anak-anak lain sudah pulang ke rumah, beberapa peserta didik yang menjadi petugas ikut latihan di sekolah. Hasilnya adalah mereka dapat pujian guru dan nilai yang baik.
5. Kegiatan belajar di kelas. Anak-anak belajar dengan tekun di kelas. Menunda atau menahan diri dari kesenangan bermain saat pelajaran berlangsung.
Harapannya dalam proses pembelajaran ini anak-anak akan dapat mengembangkan potensi terbaik mereka dan memperoleh kebahagiaan karena saat lulus pekerjaan bagus sudah menanti.
Seperti sosok Ari yang kini sudah memiliki usaha bengkel Mobil sendiri.
6. Kegiatan piket di kelas. Aktivitas bekerja sama untuk membersihkan kelas adalah upaya untuk menumbuhkan kesadaran anak tentang pentingnya menjaga kebersihan dan empati pada orang lain atau teman yang sudah bekerja keras membersihkan lingkungan.
Kegiatan piket ini juga akan membangkitkan rasa peduli anak pada sekitarnya.
7. Kegiatan menulis puisi atau membaca kuat. Biasanya aku akan meminta anak untuk menulis puisi saat pelajaran P5. Tujuannya adalah agar anak terbiasa menyalurkan isi hatinya lewat tulisan.
Karena puisi dan membaca keras dapat menunda dan menahan diri anak-anak untuk mengucapkan kata-kata tidak baik. Yah, walaupun terkadang suara mereka memekakkan telinga, aku senang melihat mereka bersemangat dan gembira.
Bonusnya adalah aku jadi tahu kalau ada siswa yang suka menulis puisi atau berbakat jadi YouTuber atau streamers yang punya omzet jutaan di market place. Lumayan kan kalau nanti ada Baim Wong junior di kelas? Gurunya bisa ikutan terkenal. Eh hehe..
Komentar
Posting Komentar