"Duh, kasian tetanggaku. Emaknya baru ninggal. Tapi, anaknya hanya mengurung diri di kamar." Pagi itu temanku, Win menceritakan tentang anak-anak tetangganya yang terlihat berbeda.
"Rumahnya penuh sampah. Pak RT bersama warga gotong royong membersihkan rumah. Mobil pick up nya sampe mondar-mandir tiga kali. Sampahnya bau banget. Mungkin udah tahunan nggak dibersihkan," lanjut Win. Kami pun menyebut nama Allah bersamaan.
"Iya. Emak-nya kan galak banget. Anak-anaknya gak pernah keluar rumah," kata Tri yang juga tinggal di dekat Win. Ah, bahaya KDRT bagi perkembangan mental anak terbukti dari cerita mereka.
Bahkan kata Win, dari keempat anak tetangganya itu, tinggal dua yang masih hidup. Itu pun kondisi mentalnya memprihatinkan. Kadang terlihat tertawa atau menangis sendiri tanpa sebab.
Kata Win lagi, keadaan kedua anak yang sebenarnya sudah lulus kuliah itu, sudah nggak seperti orang normal. Mereka seharusnya sudah dalam penanganan ahli. Nggak dibiarkan tinggal berdua di rumah itu. Entahlah, Pak RT sudah berusaha mendekati kedua anak tersebut.
Tapi, keduanya menolak. Mereka menutup diri dari orang lain. Ah, aku jadi sedih mendengarnya.
Ciri-ciri anak korban KDRT
Menurut Win, kedua anak tetangganya dari kuliah pun masih diantar dan ditunggu emaknya. Ia bilang, mungkin itu karena terlalu sayang. Tapi, kok seperti tidak memberi kepercayaan pada anak, ya? Padahal anak kan sudah dewasa?
Mendengar cerita Win, aku pun teringat ciri-ciri anak korban KDRT menurut para ahli.
1. Mudah cemas, khawatir. Kedua anak itu nggak pernah mengendarai motor atau mobil. Padahal, kendaraan tersebut ada di garasi rumah mereka.
2. Kurang percaya diri. Kedua anak tersebut, nggak mau bicara pada orang di sekiranya. Menunduk aja. Kalau keluar rumah, hanya untuk belanja. Bicara hanya satu atau dua kata. Kasian banget, kata Win. Padahal, anaknya cantik dan ganteng.
3. Terlihat tertekan dan tidak bahagia. Wajah anak-anak korban KDRT biasanya suram. Tidak ceria seperti anak-anak yang hidup dalam naungan keluarga harmonis.
4. Mudah marah, tersinggung, dan terprovokasi dalam hal negatif. Biasanya anak-anak tersebut punya dua kecenderungan. Pertama, mereka menjadi agresif. Kedua, mereka menarik diri dan hidup dalam dunianya sendiri.
Aku pernah ngobrol dengan seorang anak korban KDRT yang cenderung agresif. Ia mengakui bahwa rasanya ada kemarahan yang terpendam dan meluap di dada. Tapi, ia nggak tahu gimana cara meluapkan atau menyalurkan emosi itu.
Yah, mungkin itu sebabnya anak-anak sering berkelahi dengan temannya. Ah, masalah KDRT ini emang pelik. Dan, korban yang paling menderita adalah anak.
Belum lagi dengan sikap mental anak yang menutup diri. Aku pernah menerima japri dari siswiku tengah malam. Ia bilang mau bundir. Duh, aku degdegan. Lalu, aku pun ngobrol lewat WA dengan siswi tersebut.
Alhamdulillah, siswi ini sepertinya masih baik-baik saja. Aku sering mengajaknya ngobrol. Tapi, ya itu, aku berpikir rasanya jadi anak di zaman ini berat. Masalah mereka sepertinya rumit banget.
Namun, sebagai guru, aku berusaha mengingatkan anak-anak bahwa nggak ada masalah tanpa solusi. Tidak ada masalah yang terlalu kecil atau besar. Yakin aja, Allah memberi masalah sesuai dengan kadar kemampuan kita. Kita hanya bisa berusaha keras sebaik kita dan berdoa pada Allah untuk kemudahan urusan.
5. Suka cari perhatian berlebihan. Anak-anak suka curi-curi perhatian itu adalah hal lumrah. Tapi, kalau anak-anak suka cari perhatian berlebihan dengan hal negatif itulah yang bahaya. Contohnya sih, seperti: menggunakan obat terlarang, mengonsumsi minuman keras, atau melakukan hubungan bebas, dan tawuran.
Dari kejadian di akhir bulan Oktober lalu, beberapa anak yang diringkus polisi adalah penyintas KDRT.
Jika KDRT dibiarkan
Contohnya terlihat dari kisah tetangga Win. Keempat anak-anak tersebut nggak ada yang hidup mandiri. Kadang aku berpikir, gimana nasib anak-anak itu sekarang ya?
Kata Win sih, Pak RT dan warga terus mengawasi kedua anak tersebut. Secara suka rela, ibu-ibu tetangga mereka bergantian memberikan nasi dan lauk setiap hari. Yah, kalau bukan tetangga, siapa lagi yang memperhatikan nasib kedua anak malang tersebut.
Kabar terakhir, Win bilang, ada petugas dari RSJ yang rutin berkunjung ke rumah anak-anak itu. Aku berharap, mereka bisa sembuh. Paling nggak, bisa hidup bergaul dengan masyarakat sekitar. Semoga.
Bagaimana Respon kita saat ada peristiwa KDRT dalam keluarga atau lingkungan terdekat?
Ngomong soal KDRT sebenarnya dekat dengan lingkungan keluargaku. Nggak usah liat di televisi. Itu sebabnya, aku mengerti dan memahami perasaan penyintas.
Dulu, saat kecil, aku sering melihat pakde (alm), memukuli sepupuku dengan batang kayu atau tali pinggang. Dan, kejadian ini berlangsung di luar rumah. Sehingga, semua orang ikut menyaksikan dan mengetahui peristiwa ini.
Tapi, tidak ada yang melakukan apa-apa.
Mungkin, itu karena nggak mau ikut campur urusan keluarga lain. Mungkin juga, karena nggak peduli. Toh, itu anaknya sendiri, kata mereka. Mau diperlakukan seperti apa pun itu hak orang tuanya.
Ya, Allah.. semoga Allah mengampuni dosa dan kesalahan alm. Pakde.
Ah, aku membuka luka lama ya? Tapi, Luka ini nggak hilang atau sembuh. Sekarang, seperti keadaan tetangga Win, sepupuku itu nggak pernah keluar rumah. Minder.
Entah ini keberuntungan atau kesialan, hanya sepupuku yang tertua aja yang sering dipukuli pakde. Adek-adeknya sih aman.
Mungkin, ini karena sepupuku itu memasang badan agar adek-adeknya nggak dipukuli. Mungkin ia berpikir, biarlah aku aja, adek jangan.
Duh, aku mau nangis..
Sekali lagi, aku menyayangkan respon orang-orang di sekitarku. Tapi, aku nggak berhak untuk menilai orang lain. Who am I to judge others?
Lalu, aku berpikir respon apa yang sebaiknya kita lakukan saat ada peristiwa KDRT?
1. Lapor pihak RT. Jika nggak berani menegur langsung, kita bisa lapor RT. Mudah-mudahan dengan adanya teguran dari RT, pelaku merasa malu dan menghentikan tindakannya tersebut.
2. Lapor polisi. Aku ingat dengan kejadian Lesti yang melaporkan tindakan KDRT suaminya. Hingga, suaminya tersebut masuk penjara.
Meski Bilar dibebaskan, aku pun mengerti bahwa tindakan KDRT termasuk pelanggaran hukum pidana.
Pasal 44 ayat (1) UU PKDRT, yaitu setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkungan rumah tangga dipidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp15 juta.
Aku pikir, dengan adanya landasan hukum terkait tindakan KDRT ini, pelaku bisa dibuat jera. Sehingga, nggak ada lagi penyintas lain seperti tetangganya Win atau sepupuku.
Cara Membantu Penyintas KDRT
1. Mengajaknya bicara.
Memang nggak mudah mengajak bicara orang yang sudah memutuskan untuk menutup diri. Ia sudah membentengi dirinya. Tak peduli lagi dengan siapa pun dan apa pun. Dalam pemikiran mereka, toh di dunia ini nggak ada lagi yang peduli. Jadi, buat apa?
Tapi, ajak aja bicara terus. Butuh proses panjang dan waktu yang lama untuk dapat mengajak mereka bicara. Pelan-pelan aja. Nanti, suatu saat, mereka pasti akan mau bicara lagi. Sabar aja.
2. Memberi bantuan moral.
Bantuan moral itu dapat berupa apa pun. Duduk menemani saat mereka sendiri, atau sekedar menawarkan segelas air mineral pun sudah merupakan bentuk support moral.
Kadang-kadang, action talk louder. Lakukan aja, nanti, mereka pun akan menyadari kalau kamu tulus.
3. Mendengarkan
Jika nanti mereka sudah mulai bicara, pasti akan seperti air bah. Nah, tugasmu sekarang adalah mendengarkan. Dan, mungkin, mereka nggak butuh pendapat atau saranmu. Mereka hanya butuh didengarkan.
So, dengarkan aja..
Point-nya sih, apa pun yang kita lakukan dengan niat tulus, Allah akan menolong kita. Dan, kita dapat membantu diri kita dan lingkungan, agar sehat jasmani dan rohani. Sehingga, terciptalah masyarakat yang adil dan sejahtera.
Semoga.
Komentar
Posting Komentar