Pendidikan Karakter Siswa SMK : Oase yang Hampir Hilang
Dan, kebetulan, meskipun hanya seorang guru, aku sangat peduli dengan karakter anak-anak didikku. Aku pikir, pembelajaran di kelas dapat memberikan nilai bagi keselamatan dan kebahagiaan anak-anak saat mereka memiliki karakter yang baik. Yup, aku setuju banget dengan filosofinya Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan.
Pendidikan diartikan sebagai "tuntunan dalam hidup tumbuhnya anak-anak". Maksud pendidikan yaitu menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat.
Sayangnya, belakangan ini beredar luas kekhawatiran guru-guru terkait pendidikan karakter siswa, karena bayang-bayang rasa takut melanggar hukum.
Pengalaman Seorang Teman
Ah, aku jadi ingat seorang teman yang mengajar di sebuah SD di Bandar Lampung harus menerima teguran dari komite sekolah. Penyebabnya adalah teman guru ini menegur siswanya di kelas. Apesnya, orang tua murid tidak terima anaknya dipermalukan di kelas dan menuntut teman ini untuk meminta maaf secara terbuka di sekolah.
Dan, tentu saja, sejak saat itu, teman ini agak takut untuk menegur siswa di kelas. Beliau nggak mau peristiwa kemarin terulang kembali.
Mirisnya lagi, dalam beberapa minggu ini, aku sering melihat video-video guru-guru membuat konten yang menurutku cukup memprihatinkan. Salah satu video yang aku lihat dan viral itu, mengisyaratkan bahwa guru-guru seolah menutup mata melihat anak-anak melakukan pelanggaran di sekolah. Ah, tapi aku nggak tahu kalau itu hanya gimmick ya? Mungkin aja, konten dibuat untuk menarik penonton?
Serunya lagi, beberapa orang tua pun ikutan ngonten dengan pesan yang nggak kalah heboh. Salah satu yang aku pahami adalah bahwa mereka percaya bahwa guru dapat mendidik anak-anak mereka.
Pendidikan Karakter Siswa sering jadi Blank Spot
Apa pun itu, aku pikir pendidikan karakter sering jadi blank spot yang kadang terlewat oleh guru. Terutama di SMK. Menurutku, pendidikan karakter siswa SMK itu seperti oase yang hampir hilang. Hingga, kadang kalau lihat anak SMK yang berakhlak baik itu, hati ini rasanya senang banget. Persis seperti dijajanin es cincau pas lagi panas dan haus-hausnya..hehe.
Dalam obrolanku dengan ibu Luluk, ketua BKK sekolah yang menangani tentang output/ lulusan siswa, aku mengetahui bahwa terkadang ia kesulitan untuk memenuhi permintaan dunia industtri.
"Aku sering bingung kalau ada perusahaan minta lulusan anak kita, bu.."katanya. "Gimana nggak, mereka pasti minta anak yang baik, sopan, jujur, dan bertanggungjawab." Aku hanya mengangguk mendengar curhatan bu Luluk. Aku paham bahwa kemampuan keterampilan anak biasanya sudah cukup baik. Tapi, masalah utama anak-anak SMK adalah karakter.
Jadi, nggak heran kalau anak lulusan SMK yang baik, biasanya sukses jadi pekerja di perusahaan. Sementara anak-anak yang katanya lebih berani atau yang disebut oleh guru agak 'nakal' biasanya sukses menjadi enterpreneur. Minimal ya mereka punya usaha bengkel sendiri. Beberapa bahkan ada yang sudah memiliki beberapa pegawai/ montir yang juga lulusan dari SMK.
Meskipun ada juga sih yang harus terseok-seok dengan pekerjaan serabutan, karena dulu pas sekolah berani aka nakalnya tidak terarah.
Tantangan Mengajar di SMK
Tapi, kalau yang belum pernah mengajar atau merasakan berada dalam lingkungan SMK, mungkin nggak bisa membayangkan rasanya mengajar SMK yang jurusannya teknik ya? Pastinya sih menantang banget hehe. Apalagi sekarang ini ya lagi tren tawuran. Sedihnya lagi, beberapa hari lalu, ada beberapa anak yang menyekap anak dari STM lain tanpa alasan. Duh..
Urusannya sih emang sudah ranah kriminal. Tapi, sebagai guru, kami tetap saja berusaha menjembatani agar anak-anak ini masih dapat diselamatkan. Entahlah, kadang juga kasihan tapi kok ya keterlaluan banget. Bisa-bisanya menyekap anak sekolah lain hanya karena emosi sesaat. Sedihnya, kadang anak-anak tersebut berasal dari keluarga yang ekonominya menengah ke bawah.
Yah, kalau dipikir, aku pun nggak bisa menyalahkan guru-guru SMK, karena aku pun mengerti sulitnya mengajarkan anak-anak tentang karakter yang baik. Hal ini bukan karena guru SMK nggak bisa menjadi model yang baik buat siswanya, tapi semata disebabkan oleh guru yang disibukkan dengan tugas tambahan guru, seperti menyelesaikan beban administrasi.
Belum lagi orang tua yang sibuk dengan urusan mencari nafkah, sehingga mereka lupa atau nggak sempat membersamai anak-anak di rumah. Akibatnya, anak-anak dibesarkan oleh lingkungan sekitarnya. Sedangkan masalah pendidikan diserahkan sepenuhnya ke sekolah.
Dalam diskusi bersama teman di sekolah lain, seorang teman pernah menghadapi orang tua yang bilang begini,"Kami nggak mau tahu. Kami sudah bayar mahal ke sekolah. Jadi sekolah harus bertanggungjawab penuh terhadap pendidikan anak-anak kami. Termasuk karakternya.."
Mendengar cerita teman ini, aku pun jadi berpikir lagi. Apakah benar bahwa pendidikan anak itu adalah tanggungjawab penuh sekolah? Lalu, apa peran orang tua di rumah? Apakah mereka hanya sebagai ATM bagi anak-anak mereka?
Pertanyaan ini berputar di kepalaku, hingga aku pusing sendiri hehe. Hingga seorang teman yang mengajar di salah satu SMP negeri di Bandar Lampung bilang begini, "Tanggung jawab kita terhadap anak-anak kita hanya terbatas saat anak-anak masuk ke dalam gerbang sekolah. Saat anak-anak keluar dari gerbang sekolah, mereka bukan lagi tanggung jawab kita.."
Ah, jadi ingat bagaimana guru SMK (biasanya waka kesiswaan, humas, dan kepala sekolah) sering malam-malam harus ke Polresta karena ada siswa yang ditangkap polisi. Kebijakannya emang orang tua anak nggak bisa jemput dan bawa pulang anak, sebelum kepala sekolah ikutan menjamin si anak tersebut.
Jadi, terasa kan bedanya? hehe. Dan, kalau batasnya gerbang sekolah, bagaimana kita memfasilitasi anak-anak dalam mencari pekerjaan, ikut program magang, dan lain-lain? Ah, tapi emang beda sekolah, mungkin beda pula budaya dalam mengatasi masalah yang sama. Ya kan?
Peran sebagai guru dalam Pendidikan Karakter Siswa SMK
Menurutku sih, peran sebagai seorang guru bukan hanya mengajar siswa, tapi juga menjadi pemimpin pembelajaran, menggerakkan komunitas praktisi, menjadi coach bagi guru lain, mendorong kolaborasi antar guru, dan mewujudkan kepemimpinan peserta didik. Kelima peran guru tersebut adalah peran guru penggerak yang aku pikir dapat dipraktikkan guru dalam proses pengembangan dirinya sebagai seorang guru.
Fokusnya sih, adalah pendidikan yang berpusat pada murid. Dan, pendidikan karakter adalah poin yang cukup penting dalam proses mengembangkan program pemberdayaan yang berdampak pada murid. Konsep yang mempraktikkan aspek suara, pilihan, dan kepemilikan. Aspek yang menandakan bahwa peserta didik mempraktikkan sikap kepemimpinan dalam pembelajaran.
Dalam praktiknya, peserta didik yang telah melakukan perubahan nyata yang berdampak positif bagi dirinya dan teman-teman di sekitarnya. Sebut saja, budaya postif sederhana seperti membuang sampah pada tempatnya, berwirausaha bersama di kelas sebagai bentuk rasa kerja sama, atau beribadah bersama setiap hari di sekolah.
Langkah kecil dalam perbaikan diri adalah hal penting yang wajib dimulai sekarang. Nggak perlu takut dengan kegagalan atau dianggap bahwa perubahan yang terjadi nggak berarti. Hal terpenting yang kita harus pikirkan adalah mengubah cara pandang kita bahwa hal positif yang kita lakukan nggak harus besar dan terlihat hebat. Kita hanya perlu memulai dan menjaga budaya positif tersebut dapat dilakukan secara berkelanjutan.
Pendidikan Karakter Siswa SMK : Oase yang Hampir Hilang
Aku teringat dengan apa yang disampaikan oleh pak Firman Zakaria dalam elaborasi tadi bahwa hal kecil yang baik pun dapat memberikan nilai baik bagi perubahan peserta didik kita. Mulai aja dulu, kata beliau.
Mengingat ucapan beliau, aku yakin bahwa pendidikan karakter siswa SMK dapat diperbaiki. Paling nggak, aku bisa mulai dari diriku sendiri untuk menyelamatkan oase yang hampir hilang ini agar nggak kering dan benar-benar hilang.
Aku yakin, dengan memulai langkah kecil dalam perbaikan pendidikan karakter siswa dari diriku sendiri, kelas yang aku ajar, dan mengajak satu atau dua teman guru untuk ikut berkolaborasi dapat memperkuat komunitas praktik positif di sekolahku.
Komentar
Posting Komentar